BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) salah satu
negara dunia yang dikenal sebagai bangsa yang memiliki kekayaan alam melimpah,
namun kehidupan masyarakatnya sampai saat ini masih dalam kondisi terpuruk.
Meskipun perjuangan bangsa Indonesia sejak awal pendiriannya
bertujuan untuk terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (sila
ke kelima, Pancasila).
Undang-Undang
Dasar 1945 sebagai konstitusi atau hukum dasar negara memuat hal-hal pokok
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara pada kategori umum. Artinya pengaturan
hal-hal yang disepakati para founding
father sebagai suatu urgent dan vital untuk diatasi. UUD 1945 sebagai
hukum dasar negara menempatkan permasalahan sosial menjadi bagian hal pokok
kebangsaan dan kenegaraan Indonesia.
Hal
ini dapat dilihat dari ketentuan Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 34 sebagai
berikut: (a) Pasal 27 ayat (2) "Tiap-tiap warga negara berhak atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan". (b) Pasal 34:
"Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”.
Dua
ketentuan pasal ini dalam penjelasan disebutkan telah jelas dan telah cukup
jelas. Walaupun demikian dapat dipahami bahwa negara bertanggungjawab atas
penanganan permasalahan sosial dan kesejahteraan dalam masyarakat. Dari
paradigma sosial persoalan gelandangan dan pengemis adalah salah satu bagian
dari permasalahan sosial dikenal dengan istilah penyandang cacat sosial.
Ketentuan
Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 34 amandemen pertama sampai amandeman keempat
masing-masing tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002 semakin dilengkapi dengan beberapa
norma sebagai berikut: (a) Ayat (2) Pasal 28 B: "Setiap anak berhak atas
kelangsungan hidup tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi" (b) Pasal 28 H: (1) Setiap orang berhak hidup
sejahtera lahir dan batin bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup
yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. (2) Setiap
orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh
kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. (3) Setiap
orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara
utuh sebagai manusia bermartabat.
Penjelasan lebih teknis diatur dalam Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 31 Tahun 1980 tentang penanganan gelandang dan pengemis. Dimana yang menjadi
sasaran pokok dalam penanggulangan gepeng adalah perorangan maupun kelompok
masyarakat yang diperkirakan menjadi sumber timbulnya Gepeng, selain
keseluruhan Gepeng itu sendiri.
Norma-norma
hasil amandemen kedua dan keempat yang disebut di atas memberi kepastian serta
jaminan kepada setiap warga negara Indonesia mengenai tidak satu orang pun
warga negara yang dapat dibiarkan terlantar kehidupannya dan diperlakukan
secara berbeda-beda. Dan setiap warga negara berhak atas jaminan sosial
sehingga dapat berkembang sebagai manusia bermartabat dan untuk itu negara
wajib membangun sistem jaminan sosial, serta Negara memberdayakan orang atau masyarakat
lemah dan tidak mampu sesuai dengan
martabat kemanusiaan.
Namun
faktanya, sampai saat ini kesejahretaan sosial atau masyarakat ini masih
sekedar konsep yang sulit terwujud, di mana masih banyak ditemukan anak
terlantar, gelandangan, pengemis, terutama di kota-kota seakan sebagai penghias
jalan, pertokoan dll, termasuk di provinsi NTB khususnya di Kabupaten Lombok Timur.
Realita
kelompok, dan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial membutuhkan perhatian,
penanganan, pengurusan, serta penanggulangan yang khusus, sehingga mereka dapat
memperoleh atau menikmati hak untuk bertahan hidup yang layak, tidak
diperlakukan diskriminatif, jaminan sosial, dan pemberdayaan.
Gelandangan
dan pengemis secara normal adalah suatu kehidupan manusia yang seutuhnya
termasuk masyarakat tidak berdaya, lemah, terasing, kurang mendapat tempat
dalam tata pergaulan masyarakat kelompok berpenyakit sosial. Sebagian besar penentuan keputusan para
gepeng tersebut untuk bekerja sebagai gepeng berdalih karena faktor ekonomi
yang berimpilakasi terhadap standar kehidupan mereka, dan aktivitas menggepeng
dilakukan sebagai suatu pekerjaan yang mudah dan gampang serta memiliki
pengahasilan yang mampu menopang kebutuhan hidup mereka. Selain itu, aktivitas
menggepeng dilakukan tidak lain karena minimnya keterampilan serta pendidikan
yang dimiliki.
Gepeng di yang ada di kabupaten Lombok Timur,
terlebih di kota Selong masih banyak
ditemukan di jalanan. Ini tentunya menjadi sebuah ironi dari fakta yang belum
mampu diupayakan pemerintah untuk menanganinya secara maksimal. Padahal
pemerintah sekarang ini memiliki visi dan misi yang begitu jelas, “adil dalam
kesejahteraan dan sejahtera dalam keadilan”.
Upaya pemerintah untuk melakukan penanganan Gepeng,
jika dilihat dengan keadaan sekarang ini masih jauh dari konsep dan visi misi
pemerintah. Grand strategy yang dimiliki pemerintah kabupaten Lombok Timur saat
ini sangat jelas dalam visi misi bupati tersebut. Namun demikian persoalan ini
masih banyak ditemukan Gepeng, masayarakat masih banyak yang jeleng (fakir-miskin),
hal ini akibat tidak tersedianya lapangan pekerjaan, masyarakat pun tidak ada
skil dan lain sebagainya sehingga mengakibatkan kemiskinan yang sistemik dan
menjadi turun temurun.
Menurut data Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kabupaten
Lombok Timur, penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan sekitar 21,55%
yang terdata tahun ini pada tingkat ekonomi yang rendah atau dikategorikan
kurang mampu untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan tingkat kemiskinan yang di
alami kabupaten Lombok Timur jauh di atas rata-rata tingkat kemiskinan provinsi
NTB sebesar 16,8% dalam periode yang sama.
Pemerintah mengkelaim akselerasi penurunan
kemiskinan provinsi NTB pada tahun 2011 menempati ranking ke 8 secara nasional
dengan penurunan 1,82 point dari 21,55 persen menjadi 19,73 persen atau tersisa
894.770 jiwa dari jumlah penduduk miskin NTB tahun 2010. Sementara prosentase
rata-rata penduduk miskin di kabupaten Lombok Timur mencapai 21,55 persen,
artinya jauh di atas rata-rata tingkat kemiskinan provinsi NTB sebesar 16,8%
dalam periode yang sama. (Munir, 2009: 95)
Hal ini membuktikan bahwa kondisi rata-rata
masyarakat Lombok Timur masih dalam tingkat ekonomi yang rendah dan sumberdaya
manusia juga masih tergolong rendah. Hal ini terlihat dari prosentase
kemiskinan dan rendahnya Indek Pembangunan Manusia (IPM) kabupaten Lombok Timur
mencapai 59, 60. IPM kabupaten Lombok Timur berada pada urutan kedua dari bawah
(peringkat 7) dari 9 (Sembilan) kabupaten/kota di provinsi NTB.
Fakta ini menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan dan
rendahnya sumberdaya manusia dikabupaten Lombok Timur menjadi faktor bagi para
gelandangan dan pengemis untuk melakukan aktifitasnya sebagai gepeng yang akan
berimplikasi terhadap kehidupannya. Maraknya aktifitas menggepeng di Kabupaten
Lombok Timur terutama di Kota Selong seharusnya menjadi perhatian bagi para
pemerintah daerah kita dalam mengambil kebijakan, sebagaimana mana yang telah
tertera dalam visi dan misi pemerintah kita pada masa ini, akan tetapi hal ini
belum terwujud dalam penanganan PMKS (Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial)
terutama para gepeng yang ada di kabupaten Lombok Timur. Karena bagaimanapun
Negara dan pemerintah memiliki tanggung jawab terkait dengan persoalan hidup
masyarakat sebagaimana yang termaktub dalam undang-undang dasar 1945.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka peneliti
mengangkat tema atau judul peran pemerintah daerah dalam penanganan gelandangan
dan pengemis (studi kebijakan di kota Selong Lombok Timur).
B. FOKUS
PENELITIAN
Untuk lebih memudahkan penelitian maka ditentukan fokus
penelitiannya adalah peran pemerintah kabupaten Lombok Timur dalam penanganan gelandang
dan pengemis di Kota Selong.
C. RUMUSAN
MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalahnya
adalah:
1. Bagaimana peran pemerintah daerah dalam penanganan
gepeng di Kota Selong ?
D. TUJUAN
PENELITIAN
Berkenaan dengan masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini, peneliti
dapat menentukan tujuan penelitian sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui peran pemerintah daerah dalam
penanganan gelandangan dan pengemis di Kota Selong.
E. MANFAAT
PENELITIAN
Hasil
penelitian ini diharapkan sebagai bahan pertimbangan bagi peneliti dan dapat
memberikan informasi
yang jelas mengenai peran dan kebijakan pemerintah daerah dalam penanganan
gelandangan dan pengemis di kota Selong. Manfaat penelitian ini terbagi atas
manfaat teoritis dan manfaat praktis:
a.
Manfaat teoritis
1.
Peneliti ini diharapkan akan dapat
memberi pemahaman, pengetahuan, dan gambaran utuh tentang Gepeng.
2.
Informasi yang dapat diungkapkan dari
hasil penelitian ini dapat dijadikan pedoman bagi semua orang terutama yang
konsen dalam hal Gepeng.
3.
Dengan adanya penelitian akan menambah
khasanah ilmu pengetahuan bagi penulis khususnya dan institusi pendidikan pada
umumnya tentang Gepeng.
b.
Manfaat Praktis
1.
Sebagai masukan kepada pihak pemerintah
untuk tidak melupakan bahwa Gepeng harus diatasi.
2.
Sebagai sumbangsih pemikiran kepada
masyarakat dll.
BAB
II
LANDASAN
TEORI
A.
KEMISKINAN
1.
Pengertian Kemiskinan
Salim (1979) mengatakan Salah satu “wabah penyakit” yang serius
yang melanda Negara-negara sedang berkembang dewasa ini yaitu: kemiskinan beserta
saudara kembarnya yaitu keterbelakangan. Memang kemiskinan dan keterbelakangan
adalah suatu penyakit, karena pada kenyataannya kedua hal itu melemahkan fisik
mental manusia yang tentunya juga berdampak negatif terhadap lingkungan. Sudah
barang tentu wabah kemiskinan dan keterbelakangan itu harus diberantas. Dalam
hubungan ini amatlah relevan bila dikatakan bahwa “pembangunan di Negara
berkembang bukan hanya meningkatkan pendapatan nasional, tetapi menambah
produksi barang-barang dan jasa-jasa, tetapi pembangunan mengandung pula unsur
membangun manusia jasmaniah, rohaniah dan mengubah nasib manusia untuk keluar
dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan”.
Apa yang dikatakan ini lebih-lebih lagi berlaku bagi bangsa
Indonesia, karena sebagai Negara pancasila, yang bertekad mewujudkan masyarakat
adil dan makmur, kemiskinan sesungguhnya adalah suatu anakronisme, sesuatu yang
tidak pada tempatnya lagi. Karena itu berbagai daya upaya telah dijalankan
pemerintah untuk memerangi wabah ini, akan tetapi hasilnya tidak seperti yang
diharapkan, kemiskinan dan keterbelakangan akan menimbulkan masalah-masalah sosial
seperti; perdagangan manusia, pengangguran, perilaku menyimpang, penelantaran,
eksploitasi terhadap anak, pengemis dan banyak hal lagi yang kini muncul
mewarnai fenomena kehidupan masyarakat modern. (Soerjani, dkk, 1986: 135).
Secara umum tantangan utama yang dihadapi bangsa ini adalah
tingginya tingkat kemiskinan dan pengangguran. Penanggulangan dan pengurangan
kemiskinan tidak saja mencakup pemberian bantuan dan dukungan agar masyarakat
miskin tidak lebih terpuruk akan tetapi lebih kepada membangun manusia
Indonesia yang berkualitas sehingga bisa menopang kehidupan dan keluar dari
lingkaran kemiskinan. (Wangsa, 2007: 163)
Mubyarto (1993: 21) mendefinisikan kemiskinan sebagai situasi
serba kekurangan yang terjadi pada seseorang/sebuah keluarga bukan karena
dikehendaki melainkan tidak dapat dihindari dengan kekuatan yang ada padanya.
Kemiskinan ditandai oleh sikap dan tingkahlaku yang menerima
keadaan yang seakan-akan tidak dapat diubah yang tercantum dalam lemahnya
kemajuan untuk maju, rendahnya kualitas sumberdaya manusia, terbatasnya modal
yang dimiliki, rendahnya produktivitas, lemahnya nilai tukar hasil produksi,
rendahnya pendapatan dan terbatasnya kesempatan berpartisipasi dalam
pembangunan.
Mubyarto (1993: 21) mengatakan orang miskin tidak semuanya malas
dan tidak mau bekerja. Karena dalam kenyataannya kebanyakan dari mereka sudah
berusaha namun gagal sehingga kemiskinan bukanlah mereka inginkan, hal ini
menunjukkan bahwa dalam diri kemiskinan masih ada sikap positif yang bisa merubah nasibnya untuk lebih baik.
Kemiskinan adalah apabila tingkat hidup seseorang tidak memungkinkan
untuk bisa memenuhi keperluan-keperluan yang mendasar seperti: kesehatan, baik
fisik maupun mental terganggu karenanya dari keperluan dasar itu antara lain:
sandang, pangan, kesehatan, pendidikan, yang paling pokok dan yang memerlukan
upaya untuk memperolehnya adalah pangan.
Bagi kita pada saat sekarang ini kemiskinan yang sangat sering
dihadapi mengenai masalah kurangnya kebutuhan pangan, masalah ini yang paling
mendesak dan paling rawan bagi masyarakat.
Menurut Emil Salim (1993: 13) kemiskinan adalah keadaan penduduk
yang meliputi hal-hal yang tidak dimiliki:
a.
Mutu tenaga yang tinggi
b.
Jumlah modal yang memadai
c.
Luas lahan sumber tenaga
yang cukup
d.
keahlian dan keterampilan
yang tinggi
e.
kondisi fisik dan rohaniah yang baik
f.
lingkungan hidup yang
memungkinkan perubahan dan kemajuan
Kemiskinan diartikan sebagai suatu keadaan di mana seseorang tidak
sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf kehidupan kelompok dan
juga tidak mampu memanfaatkan tenaga mental maupun fisiknya dalam kelompok
tersebut. (Soekanto, 1990: 406)
Kemiskina merupakan masalah utama pembangunan yang bersifat
kompleks dan multidimensional. Persoalan kemiskinan bukan hanya berdimensi
ekonomi, tetapi sosial, budaya, politik, bahkan moral.
Secara umum, kondisi kemiskinan ditandai kerentanan,
ketidakberdayaan, keterisolasian, dan ketidakmampuan mendapatkan akses
pelayanan serta menyampaikan aspirasi dan kebutuhannya. (Wangsa, 2007: 165)
Definisi kemiskinan telah
banyak dikemukakan oleh pakar dan lembaga yang terkait dengan permasalahan
kemiskinan. Specker (1993) mengatakan bahwa kemiskinan mencakup
(1) kekurangan
fasilitas fisik bagi kehidupan yang normal,
(2) gangguan
dan tingginya risiko kesehatan,
(3) risiko
keamanan dan kerawanan kehidupan sosial ekonomi dan lingkungannya,
(4) kekurangan
pendapatan yang mengakibatkan tidak bisa hidup layak, dan
(5) kekurangan
dalam kehidupan sosial yang dapat ditunjukkan oleh ketersisihan sosial,
ketersisihan dalam proses politik, dan kualitas pendidik yang rendah.
Konferensi
Dunia untuk Pembangunan Sosial telah mendefinisikan kemiskinan sebagai berikut:
Kemiskinan memiliki wujud yang majemuk, termasuk rendahnya tingkat pendapatan
dan sumber daya produktif yang menjamin kehidupan berkesinambungan, kelaparan
dan kekurangan gizi, rendahnya tingkat kesehatan, keterbatasan dan kurangnya
akses kepada pendidikan dan layanan-layanan pokok lainnya, kondisi tak wajar
dan kematian akibat penyakit yang terus meningkat, kehidupan bergelandang dan
tempat tinggal yang tidak memadai, lingkungan yang tidak aman, serta
diskriminasi dan keterasingan sosial.
Kemiskinan juga dicirikan oleh rendahnya
tingkat partisipasi dalam proses pengambilan keputusan dalam kehidupan sipil,
sosial dan budaya. Maxwell (2007) menggunakan istilah kemiskinan untuk
menggambarkan keterbatasan pendapatan dan konsumsi, keterbelakangan derajat dan
martabat manusia, ketersingkiran sosial, keadaan yang menderita karena sakit,
kurangnya kemampuan dan ketidakberfungsian fisik untuk bekerja, kerentanan
(dalam menghadapi perubahan politik dan ekonomi), tiadanya keberlanjutan sumber
kehidupan, tidak terpenuhinya kebutuhan dasar, dan adanya perampasan relatif
(relative deprivation). Poli (1993) menggambarkan kemiskinan sebagai keadaan;
ketidakterjaminan pendapatan, kurangnya kualitas kebutuhan dasar, rendahnya
kualitas perumahan dan aset-aset produktif; ketidakmampuan memelihara kesehatan
yang baik, ketergantungan dan ketiadaan bantuan, adanya perilaku antisosial
(anti-social behavior), kurangnya dukungan jaringan untuk mendapatkan kehidupan
yang baik, kurangnya infrastruktur dan keterpencilan, serta ketidakmampuan dan
keterpisahan.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPENAS)
dalam dokumen Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan juga mendefinisikan
masalah kemiskinan bukan hanya diukur dari pendapatan, tetapi juga masalah
kerentanan dan kerawanan orang atau sekelompok orang, baik laki-laki maupun
perempuan untuk menjadi miskin. Masalah kemiskinan juga menyangkut tidak
terpenuhinya hak-hak dasar masyarakat miskin untuk mempertahankan dan
mengembangkan kehidupan bermartabat. Pemecahan masalah kemiskinan perlu
didasarkan pada pemahaman suara masyarakat miskin, dan adanya penghormatan,
perlindungan dan pemenuhan hak-hak mereka, yaitu hak sosial, budaya, ekonomi
dan politik. Oleh karena itu, strategi dan kebijakan yang dirumuskan dalam
strategi nasional pengentasan kemiskinan didasarkan atas pendekatan berbasis
hak (Bapenas, 2005).
Menurut
Sallatang (1986) bahwa kemiskinan adalah ketidakcukupan penerimaan pendapatan
dan pemilikan kekayaan materi, tanpa mengabaikan standar atau ukuran-ukuran
fisiologi, psikologi dan sosial. Sementara itu, Esmara (1986) mengartikan
kemiskinan ekonomi sebagai keterbatasan sumber-sumber ekonomi untuk
mempertahankan kehidupan yang layak. Fenomena kemiskinan umumnya dikaitkan
dengan kekurangan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang layak. Menurut
Basri (1995) bahwa kemiskinan pada dasarnya mengacu pada keadaan serba
kekurangan dalam pemenuhan sejumlah kebutuhan, seperti sandang, pangan, papan,
pekerjaan, pendidikan, pengetahuan, dan lain sebagainya. Sementara itu, menurut
Badan Pusat Statistik (2000), kemiskinan didefinisikan sebagai pola konsumsi
yang setara dengan beras 320 kg/kapita/tahun di pedesaan dan 480
kg/kapita/tahun di daerah perkotaan. (http//www.kemiskinan sosial)
Secara konseptual kemiskinan dapat dipandang
dari berbagai segi. Pertama-tama dari segi subsistem, dimana penghasilan dan
jerih payah seseorang hanya pas-pasan untuk dimakan saja, atau bahkan tidak
cukup pula untuk itu. Segi ketidak merataan menekankan pada posisi relatif dari
setiap golongan menurut penghasilannya terhadap posisi golongan yang lain,
sedangkan dari segi eksternal mencerminkan konsekwensi sosial dari kemiskinan
terhadap masyarakat di sekelilingnya yaitu bagaimana kemiskinan yang berlarut-larut
mengakibatkan dampak sosial yang tidak ada habisnya. (Soerjani dkk, 1986: 135)
Adapun kemiskinan itu dibagi menjadi empat kategori kemiskinan
yaitu kemiskinan absolute, kemiskinan relatif ”menurut perbandingan kelas-kelas
pendapatan”, kemiskinan subyektif (kultural) yaitu menurut perasaan perorang, dan
kemiskinan struktural.
Pertama, kemiskinan absolut adalah keadaan miskin yang diakibatkan oleh
ketidak mampuan seseorang atau sekelompok orang dalam memenuhi kebutuhan
pokoknya, seperti untuk makan, pakaian, pendidikan, kesehatan, trasnportasi,
dll. Penentuan kemiskinan absolute ini biasanya diukur melalui ‘batas kemiskinan’
atau ‘garis kemiskinan’ (proverly line).
Kedua, kemiskinan relatif adalah keadaan miskin yang dialami individu
atau kelompok dibandingkan dengan kondisi umum suatu masyarakat. Jika batas
kemiskinan misalnya Rp. 100.000 per kapita per bulan, maka seseorang yang
memiliki pendapatan Rp. 125.000 per bulan secara absolute tidak miskin, tetapi
jika pendapa rata-rata masyarakat setempat adalah Rp. 200.000 per orang per
bulan, maka secara relatif orang tersebut termasuk orang miskin.
Ketiga, kemiskinan kultural mengacu pada sikap, gaya hidup, nilai,
orientasi sosial budaya seseorang atau masyarakat yang tidak sejalan dengan
etos kemajuan (masyarakat modern). Sikap malas, tidak memiliki kebutuhan
berprestasi (needs for achievement),
fatalis, berorientasi ke masa lalu, tidak memiliki jiwa wirausaha adalah
beberapa karakteristik yang umumnya dianggap sebagai ciri-ciri kemiskinan
kultural.
Keempat, kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang diakibatkan oleh
ketidakberesan atau ketidakadilan struktur, baik struktur politik, sosial,
maupun ekonomi yang tidak memungkinkan seseorang atau sekelompok orang
menjangkau sumber-sumber penghidupan yang sebenarnya tersedia bagi mereka.
Proses dan praktik monopoli, oligopoly dalam bidang ekonomi, misalnya,
melahirkan mata rantai kemiskinan yang sulit dipatahkan. Sekuat apapun motivasi
dan kerja keras seseorang, dalam kondisi struktural demkian, tidak akan mampu
melepaskan diri dari belenggu kemiskinannya, karena asset yang ada serta akses
terhadap sumber-sumber telah sedemikian rupa dikuasai oleh segolongan orang
tertentu. Para petani yang tidak memiliki tanah sendiri atau hanya sedikit
tanah, para nelayan yang tidak mempunyai perahu, para pekerja yang tidak
terampil (unskilled labour), termasuk
ke dalam mereka yang berada dalam kemiskinan struktural.
Bagi kita yang paling relevan adalah yang pertama ini karena di
Negara kita kemiskinan absolute merupakan masalah yang paling aktual, paling
rawan dan karenanya paling mendesak.
Kemiskinan absolute ialah keadaan miskin yang diakibatkan oleh
ketidakmampuan seseorang atau kelompok orang dalam memenuhi kebutuhan pokoknya,
seperti untuk makan, pakaian, pedidikan, kesehatan, transportasi, dll. Apabila tingkat hidup seseorang tidak
memungkinkan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya yang mendasar, sehingga
kesehatan fisik maupun mentalnya terganggu. Dari semua keperluan dasar itu
(antara lain pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan), yang paling pokok
dan memerlukan upaya untuk memperolehnya adalah pangan.
(Suharto, 2005: 17-18).
2.
Penyebab Kemiskinan
Sharp, (1996:173-191) mencoba mengidentifikasi penyebab kemiskinan
dipandang dari sisi ekonomi. Pertama secara mikro, kemiskinan muncul karena
adanya ketidaksamaan pola kepemilikan sumber daya yang menimbulkan distribusi pendapatan
yang timpang. Penduduk miskin hanya memiliki sumber daya dalam jumlah terbatas
dan kualitasnya rendah. Kedua kemiskinan muncul akibat perbedaan dalam kualitas
sumber daya manusia yang rendah berarti produktivitasnya rendah, yang pada
gilirannya upahnya rendah. Rendahnya kualitas sumber daya manusia ini karena
rendahnya pendidikan, nasib yang kurang beruntung, adanya diskriminasi atau
karena keturunan. Ketiga kemiskinan muncul akibat perbedaan akses dalam modal.
(Mudrajad, 2006: 225).
Adapun sebab-sebab kemiskinan yang pokok bersumber dari empat hal
yaitu :
1) Mentalitas si miskin itu sendiri
2) Minimnya keterampilan yang dimiliki
3) Ketidak mampuannya memanfaatkan kesempatan-kesemptan yang
disediakan, dan
4) Peningkatan jumlah penduduk yang relatif berlebihan.
Keempat hal ini dalam kenyataannya kait mengait dan memiliki
hubungan yang sangat erat apabila orang sudah terperangkap dalam jurang
kemiskinan dan tidak lagi melihat kemungkinan untuk keluar dari dalam jurang
itu maka kebanyakan orang cenderung mengambil sikap yang seluruhnya irasional. (Soerjani,
dkk, 1987: 141).
Adapun penyebab timbulnya kemiskinan menurut Drs. H. Hartomo dan
Dra. Arnicun Aziz (2004:329-331) yaitu :
1). Pendidikan yang terlampau rendah.
2). Malas bekerja.
3). Keterbatasan sumber daya alam.
4). Terbatasnya lapangan kerja.
5). Keterbatasan modal.
6). Beban keluarga.
Menurut Tulus, (2009: 127) faktor-faktor
penyebab kemiskinan di Indonesia yaitu:
1. Tingkat pendidikan yang rendah
2. Produktivitas tenaga kerja rendah
3. Tingkat upah yang rendah
4. Distribusi pendapatan yang timpang
5. Kesempatan kerja yang kurang
6. Kualitas sumberdaya alam masih rendah
7. Penggunaan teknologi masih kurang
8. Etos kerja dan motivasi pekerja yang rendah
9. Kultur/budaya (tradisi)
10. Politik yang belum stabil
1. Tingkat pendidikan yang rendah
2. Produktivitas tenaga kerja rendah
3. Tingkat upah yang rendah
4. Distribusi pendapatan yang timpang
5. Kesempatan kerja yang kurang
6. Kualitas sumberdaya alam masih rendah
7. Penggunaan teknologi masih kurang
8. Etos kerja dan motivasi pekerja yang rendah
9. Kultur/budaya (tradisi)
10. Politik yang belum stabil
Kesemua faktor tersebut di atas
saling mempengaruhi, dan sulit memasrikan penyebab kemiskinan yang paling utama
atau faktor mana yang berpengaruh langsung maupun tidak langsung. Kesemua
faktor tersebut merupakan viciois circle
(Lingkaran setan) dalam masalah timbulnya kemiskinan (http://id.shvoong.com/faktor-faktor-penyebab-kemiskinan).
Adapun Kemiskinan itu sendiri banyak dihubungkan dengan:
1. penyebab individual, atau patologis,
yang melihat kemiskinan sebagai akibat dari perilaku, pilihan, atau kemampuan
dari si miskin;
2. penyebab keluarga, yang
menghubungkan kemiskinan dengan pendidikan keluarga;
3. penyebab sub-budaya (subcultural),
yang menghubungkan kemiskinan dengan kehidupan sehari-hari, dipelajari atau
dijalankan dalam lingkungan sekitar;
4. penyebab agensi, yang melihat
kemiskinan sebagai akibat dari aksi orang lain, termasuk perang, pemerintah,
dan ekonomi;
5. penyebab struktural, yang memberikan
alasan bahwa kemiskinan merupakan hasil dari struktur sosial.
Meskipun
diterima luas bahwa kemiskinan dan pengangguran adalah sebagai akibat dari
kemalasan, namun di Amerika Serikat (negara
terkaya per kapita di dunia) misalnya memiliki jutaan masyarakat yang
diistilahkan sebagai pekerja miskin; yaitu, orang yang tidak sejahtera atau rencana bantuan publik, namun
masih gagal melewati atas garis kemiskinan. (http://id.wikipedia.org/wiki/Kemiskinan).
3.
Dampak dan upaya penanggulangan kemiskinan
Kemiskinan telah menimbulkan dampak negatif beragam dalam
kehidupan masyarakat yang saling terkait dan saling mempengaruhi. Dampak
negatif kemiskinan antara lain secara sosial-ekonomi menjadi beban masyarakat,
rendahnya kualitas dan produktivitas masyarakat, rendahnya partisipasi
masyarakat, menurunnya ketertiban umum dan ketentraman masyarakat, menurunnya
kepercayaan mansyarakat terhadap pelayanan birokrasi, dan kemungkinan
merosotnya mutu generasi yang akan datang (Wangsa, 2007: 165).
Adapun dampak kemiskinan terhadap orang miskin sendiri dan
terhadap lingkungannya, baik lingkungan sosial maupun lingkungan alam dengan
sendirinya sudah jelas negatif.
Dampak kemiskinan terhadap lingkungan sosial tampak mengalirnya
penduduk ke kota-kota tanpa bekal pengetahuan dan materi. Akibatnya antara lain
adalah banyaknya tukang becak, pemungut punting, gelandangan, pengemis dan
sebagainya yang menghuni kampung-kampung liar yang jorok di gubuk-gubuk reot
yang tak pantas di huni manusia.
Keinginan
menanggulangi kemiskinan sebenernya bukanlah hal baru. Pemerintah telah
merancangkan dua pokok kebijaksanaan pembangunan yaitu: mengurangi jumlah
penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan dan melaksakan delapan jalur
pemerataan pembagian pendapatan, penyebaran pembangunan diseluruh daerah,
kesempatan memperoleh pendidikan, kesehatan, kesempatan kerja, berusaha,
berpartisipasi dalam kegiatan pembangunan dan kesempatan memperoleh keadilan.
(Usman, 2004:130)
Kaitannya dengan
mengurangi jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan, Lombok Timur
hingga saat ini masih mengusung beban yang cukup berat. Dengan jumlah penduduk
1,2 juta jiwa, Lombok Timur merupakan kabupaten dengan penduduk terpadat di
NTB. Kependudukan juga merupakan salah
satu penyebab kemiskinan yang ada di kabupaten Lombok Timur. kependudukan tersebut
menjadi persoalan yang tidak ringan jika
melihat lama sekolah yang mencapai 6,21 tahun. Itu artinya, penduduk Lombok Timur
rata-rata hanya tamat SD. Fakta ini berimplikasi pada persoalan pengetahuan dan
pemahaman dalam berbagai sektor kehidupan. Data kemiskinan yang ada di Lombok Timur
mencapai 21 persen dan termasuk dalam masyarakat pra sejahtera. (Rabbah, 2005: 3-5).
Rendahnya pertumbuhan ekonomi daerah untuk menciptakan lapangan
kerja menjadi terbatas. Dari jumlah angkatan kerja yang ada yaitu: 497.130
orang yang mampu terserap pada lapangan kerja yang tersedia hanya 317.467 orang
(63,88 %), sedangkan selebihnya sebanyak 179.663 orang (36,14%) tegolong
sebagai pengangguran terbuka. (Munir, 2009: 126)
Disamping itu juga rendahnya pertumbuhan ekonomi ini mengakibatkan
jumlah penduduk miskin di kabupaten Lombok Timur masih sangat banyak yaitu
138.322 KK atau 691.610 oarang.
Dalam keadaan serba terbatas di lingkungan Negara yang sedang
berkembang, maka pemerintah menduduki posisi yang paling mampu mengusahakan
perubahan ini. Operasi-operasi penanggulangan dari kemiskinan, harus menyakup
membangkitkan motivasi untuk melepaskan diri dari kemiskinan, secara lebih
mengefektifkan program-program yang telah ada. (Emil Salim, 1979: 60). Upaya
pemecahan masalah kemiskinan yaitu mengadakan pelatihan pendidikan keterampilan,
berwirausaha, dan pemasyarakatan program KB (Hartomo dan Arnicun, 2004:331-332).
B.
KONSEP GELANDANGAN DAN
PENGEMIS
1.
Pengertian Gelandangan dan Pengemis
Gelandangan adalah orang-orang yang hidup dalam keadaan
tidak sesuai dengan norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat, serta
tidak mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap di wilayah tertentu dan
hidup mengembara di tempat umum. Sedangkan yang dimaksud dengan pengemis adalah
orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan meminta-minta di muka umum
dengan pelbagai cara dan alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang
lain. (Simora, 2009)
Pengemis menurut
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1980 Tentang
Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis adalah orang-orang yang mendapatkan
penghasilan dengan meminta-minta di muka umum dengan berbagai cara dan alasan
untuk mengharapkan belas kasihan dari orang lain. Permasalahan pengemis, gepeng, dan anak jalanan sebenarnya
hanyalah turunan dari permasalahan kemiskinan. Selama persoalan kemiskinan
belum teratasi jumlah pengemis, gepeng, dan anak jalanan tidak akan pernah
berkurang malah jumlahnya akan semakin bertambah. (http//www.d-forin.com)
Dalam Peraturan Pemerintah nomor 31 Tahun 1980 (pasal 2),
kebijakan dibidang penanggulangan gepeng merupakan kebijakan yang telah
ditetapkan oleh menteri berdasarkan pada kebijakan yang telah digariskan oleh
pemerintah, dalam menetapkan kebijakan tersebut Menteri dibantu oleh sebuah
badan koordinasi yang susunan, tugas dan wewenangnya diatur dengan keputusan
presiden. Penertiban gelandangan dan pengemis telah diatur dalam Kepres Nomor
40 tahun 1983 Tentang Koordinasi Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis, dalam
keputusan bersama antara Menteri Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan dan
Menteri Sosial dengan nomor SKB. 102/MEN/1983 tentang penyelenggaraan
Transmigrasi yang dikaitkan dengan pengentasan penyandang masalah kesejahteraan
sosial.
Masalah kemiskinan di Indonesia berdampak negatif terhadap
meningkatnya arus urbanisasi dari daerah pedesaan kekota-kota besar, sehingga
terjadi kepadatan penduduk dan daerah-daerah kumuh yang menjadi pemukin para
urban tersebut, sulit dan terbatasnya pekerjaan yang tersedia serta terbatasnya
pengetahuan, keterampilan dan pendidikan menyebabkan mereka banyak mencari
nafkah untuk mempertahankan hidup dengan terpaksa menjadi gelandangan dan
pengemis. Kementerian Sosial terus berupaya untuk mengurangi tingkat populasi
Gepeng dan anak jalanan, tahun 2011 pemerintah berusaha untuk lebih
mengedepankan upaya penanggulangan kedua pokok permasalahan tersebut, di
Indonesia terdapat sekitar 30 juta orang penyandang masalah kesejahteraan
sosial (PMKS), yang terbagi dalam 22 kelompok, salah satunya adalah anak
jalanan, telantar, gelandangan, dan pengemis (gepeng) yang jumlahnya sekitar 3
juta jiwa.
Data Pusdatin Kementerian Sosial tahun 2009 menunjukan
jumlah pengemis sebanyak 31.1793 jiwa, sementara jumlah gelandangan tahun 2009
sebanyak 54.028 jiwa, keterkaitan ini sangat jelas bahwa faktor kemiskinanlah
yang menyebabkan mereka hidup seperti itu. Untuk mengurangi penduduk miskin
yang berjumlah 34 juta, tahun 2010 disediakan anggaran Rp 1,8 triliun. Hal ini
menunjukkan bahwa alasan ekonomi keluarga merupakan pendorong utama semakin
banyaknya gelandangan, pengemis dan anak jalanan yang menjadi peminta-minta,
dan pada akhirnya hidup berkeliaran dijalan-jalan dan tempat umum. Maraknya
gelandangan dan pengemis disuatu wilayah dapat menimbulkan kerawanan sosial,
mengganggu ketertiban umum, ketenangan masyarakat dan kebersihan serta
keindahan kota. Gelandangan bisa dikategorikan sebagai orang yang tunawisma
atau tidak punya tempat tinggal tetap sehingga kehidupannya berpindah-pindah
hanya untuk tidur dan sebagainya. (Bambang, 2009)
2. Penyandang Masalah Kesejahteraan
Sosial (PMKS)
Penyandang
Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) adalah seseorang,
keluarga, atau kelompok masyarakat yang karena suatu hambatan, kesulitan atau
gangguan, tidak dapat melaksanakan fungsi sosialnya, sehingga tidak dapat
terpenuhi kebutuhan hidupnya (jasmani, rohani dan sosial) secara memadai dan
wajar.
Adapun
kelompok PMKS sebagai berikut : 1) anak terlantar,
2) anak nakal, 3) anak jalanan, 4) anak cacat, 5) penyandang cacat,
6) tuna susila, 7) pengemis, 8) gelandangan, 9) keluarga
fakir miskin, 10) keluarga berumah tidak layak huni, 11) masyarakat adat
terpencil
C.
KEBIJAKAN DAN PERAN PEMERINTAH DALAM PENANGANAN GEPENG
1.
Kebijakan dan kesejahteraan
Kebijakan adalah prinsip atau cara bertindak yang dipilih untuk
mengarahkan pengambilan keputusan. Menurut Ealau dan Prewitt (1973), kebijakan
adalah sebuah ketetepan yang berlaku yang dicirikan oleh perilaku yang
konsisten dan berulang, baik dari yang membuatnya maupun yang menaatinya (yang terkena kebijakan itu). Titmuss (1974) mendefinisikan kebijakan sebagai
prinsip-prinsip yang mengatur tindakan yang diarahkan kepada tujuan-tujuan
tertentu. Kebijakan menurut Titmuss, senantiasa berorientasi kepada masalah (problem-oriented) dan berorientasi
kepada tindakan (action-oriented).
Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa kebijakan adalah suatu ketetapan yang
memuat prinsip-prinsip untuk mengarahkan cara-cara bertindak yang dibuat secara
terencana dan konsisten dalam mencapai tujuan tertentu.
Conyers (1992) mengartikan kata sosial berkaitan dengan hak azasi
manusia baik sebagai individu maupun anggota masyarakat. Misalnya, selain
setiap orang memiliki hak azasi (human
right), seperti hak hidup dan menyatakan pendapat secara bebas, juga
memiliki hak sosial (social right ),
seperti kesamaan hak dalam memperoleh pendidikan, pekerjaan, perumahan atau
berpartisipasi dalam pembangunan.
Kebijakan sosial diartikan sebagai kebijakan yang menyangkut aspek
sosial dalam pengertian spesifik, yakni yang menyangkut bidang kesejahteraan
sosial. Huttman (1981), dan Gilbert dan Specht (1986) melihat kebijakan sosial
dari tiga sudut pandang yakni kbijakan sosial sebagai proses (process), sebagai
produk (product), sebagai kinerja atau capaian (performence). Sebagai suatu
proses, kebijakan sosial menunjuk pada tahapan perumusan kebijakan dalam
kaitannya dengan variabel-variabel sosio-politik dan teknik metodologis. Kebijakan
sosial merupakan suatu tahapan untuk membuat sebuah rencana tindakan (plan of action) yang dimulai dari
pengidentifikasian kebutuhan (assessing
need), penetapan alternatif-alternatif kebutuhan tindakan, penyeleksian
strategi-strategi kebijakan, sampai pada evaluasi terhadap pengimplementasian
kebijakan. Magill (1986) memberi istilah terhadap makna kebijakan sebagai
proses ini sebagai pengembangan kebijakan (policy development) yang maknanya
menunjuk pada proses perumusan kebijakan (policy
formulation).
Sebagai suatu produk, kebijakan sosial adalah hasil dari proses
perumusan kebijakan atau perencanaan sosial. Dalam pengertian ini kebijakan
sosial mencakup segala bentuk peraturan, perundang-undangan atau proposal
program yang berfungsi sebagai pedoman dalam melaksanakan berbagai kegiatan
proyek. Dimensi kedua dari kebijakan ini melihat kebijakan sosial sebagai
rumusan strategi (formulated strtegy),
atau merujuk pada pendapat Kahn (1973) sebagai suatu rencana induk (standing plan).perlu dijelaskan di sini
bahwa peraturan atau perundang-undangan adalah sebuah kebijakan, namun tidak
semua kebijakan adalah peraturan atau perundang-undangan.
Dun (1981) dan Quade (1981) mengatakan Sebagai suatu kinerja (performance), kebijkan sosial merupakan
deskripsi atau evaluasi terhdap hasil-hsil pengimplementasian produk kebijakan sosial
atau pencapaian tujuan sutu rencana pembangunan. Kebijakan sosial dalam
pengaertian ini menyangkut kegiatan analisis untuk melihat dampak atau pengaruh
yang terjadi pada masyarakat, baik yang bersifat positif maupun negatif, sebagi
akibat dari diterapkannya suatu peraturan, perundang-undangan, atau suatu
program. Secara khusus, dimensi ketiga kebijakan sosial ini seringkali
diistilahkan dengan analisis kebijakan sosial (socil policy analysis) (Suharto, 2005: 7-12).
Melihat kebijakan sosial di artikan
sebagai kebijakan yang menyangkut aspek sosial dalam pengertian spesifik, yakni
menyangkut bidang kesejahteraan sosial, dimana pembangunan bidang kesejahteraan
sosial merupakan bagian integral. Pembangunan kesejahteraan rakyat ini selaras
dengan konsepsi pembangunan sosial, yang dalam literatur mencakup pembangunan
di bidang kesehatan, pendidikan dan perumahan (Hardiman dan Midgley, 1982).
Oleh karena itu, di Indonesia kesejahteraan sosial, sedangkan luas merujuk pada
pembangunan sosial, sedangkan secara sempit mengacu pada pembangunan kesejahteraan
sosial. Pembangunan ekonomi nasional selama
ini masih belum mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat secara luas. Indikator
utamanya adalah tingginya ketimpangan dan kemiskinan.
Pembangunan bidang kesejahteraan rakyat adalah proses meningkatkan
kondisi kehidupan masyarakat Indonesia dalam memenuhi kebutuhan dasarnya. Definisi
kebutuhan dasar tidak terbatas pada tersedianya kebutuhan pokok pangan,
sandang, perumahan, pendidikan, dan kesehatan. Dalam mewujudkan sasaran
pembangunan kementerian koordinator bidang kesejahteraan rakyat telah
menetapkan tiga pilar kebijakan, yaitu penanggulangan kemiskinan dan
pengurangan pengangguran, tanggap cepat masalah kesejahteraan rakyat, serta
pengembangan dan investasi SDM. Ketiga pilar di atas merupakan bagian dari pembangunan
manusia Indonesia yang lebih sejahtera. (Wangsa, 2007:129)
Sejahtera adalah keadaan keluarga yang hidup makmur dalam kelompok
teratur berdasarkan sistem nilai, babas dari penyakit, tidak ada gangguan dan
menyenangkan. Berdasarkan konsep tersebut ada beberapa faktor yang perlu dikaji
agar dapat menjelaskan konsep sejahtera. Beberapa faktor tersebut adalah ekonomi,
sosial, budaya, kesehatan, keamanan dan hiburan, yang saling berkorelasi satu
sama lain.
Faktor ekonomi berkenaan dengan kemakmuran yang pada dasarnya
meliputi kecukupan sandang, pangan dan perumahan, yang diperoleh karna mampu
bekerja keras. Faktor sosial berkenaan dengan hidup berkelompok secara teratur.
Faktor budaya berkenaan dengan hidup bersih bebas dari penyakit. Faktor
keamanan berkenaan dengan ketenteraman karena tidak ada gangguan fisik dan
mental. Faktor hiburan berkenaan dengan kesenangan hidup yang menyegarkan.
Apabila kehidupan suatu keluarga dalam suatu masyarakat telah memenuhi faktor-faktor
tersebut, dapat dikatakan bahwa keluarga itu adalah keluarga sejahtera (Abdulkadir,
2005: 24).
Kesejahteraan adalah suatu keadaan secara sosial tersusun dari
tiga unsur sebagai berikut. Pertama, setinggi apa masalah-masalah sosial
dikendalikan. Kedua, seluas apa kebutuhan-kebutuhan dipenuhi dan ketiga
setinggi apa kesempatan-kesepatan untuk maju tersedia. Tiga unsur ini berlaku
bagi individu-individu, keluarga, komunitas dan bahkan seluruh masyarakat.
(http//pdfdatabase.com, diakses tanggal 02 Oktober 2010)
Hingga pada tahun ini kabupaten Lombok Timur masih dihadapi dengan
berbagai permasalahan yang berkaitan dengan keadilan dan kesejahteraan
masyarakat. Permasalahan ini terjadi karena rendahnya kesejahteraan dan
kesejahteraan tersebut tidak dinikmati secara merata (adil) oleh seluruh
lapisan masyarakat. Untuk itu, kedepan dalam periode 2008-2013 pemerataan
pembangunan dan hasil-hasilnya akan diupayakan secara merata (adil) guna
mewujudkan peningkatan kesejahteraan masyarakat sehingga dalam peningkatan
kesejahteraan tersebut juga terwujud keadilan. Keadilan dan kesejahteraan tidak
hanya menjadi isu daerah atau kabupaten Lombok Timur melainkan juga telah
menjadi isu nasional maupun internasional/global (Munir, 2009: 64).
2.
Negara Kesejahteraan
(Weifare State)
Negara kesejahteraan merupakan sebuah idiologi, sistem dan
sekaligus strategi yang jitu untuk mengatasi dampak negatif kapitalisme. Dalam
Negara kesejahteraan, pemecahan masalah kesejahteraan sosial, seperti
kemiskinan, pengangguran, ketimpangan dan keterlantaran tidak dilakukan melalui
proyek-proyek sosial parsial yang berjangka pendek. Melainkan diatasi secara
terpadu oleh program-program jaminan sosial (social security), pelayanan
sosial, rehabilitasi sosial, serta berbagai tunjangan pendidikan, kesehatan
hari tua, dan pengangguran.
Merujuk pada Spicker (1988: 77) Negara kesejahteraan dapat
didefinisikan sebagai sebuah sistem kesejahteraan sosial yang memberi peran
yang lebih besar kepada Negara (pemerintah) untuk mengalokasikan sebagian dana
publik dimi menjamin terpenuhinyakebutuhan dasar warganya. Menurut Marshall
(1981) Negara kesejahteraan merupakan bagian dari sebuah masyarakat modern yang
sejalan dengan ekonomi pasar kapitalis dan struktur politik demokratis.
Negara kesejahteraan pertama-tama dipraktekkan di Eropa da AS pada
abad 19 yang ditujukan untuk mengubah kapitalisme menjadi lebih manusiawi (compassionate
capitalism). Dengan sistem ini, Negara bertugas melindungi golongan lemah dalam
masyarakat dari gilasan kapitalisme. Hingga saat ini, Negara kesejahteraan
masih dianut oleh Negara maju dan berkembang. Dilihat dari besarnya anggaran Negara
untuk jaminan sosial, sistem ini dapat diurutkan ke dalam empat model yaitu:
1.
Model Universal yang dianut
oleh Negara-negara Skandinavia, seperti Swedia, Norwegia, Denmark dan
Finlandia. Dalam model ini, pemerintah menyediakan jaminan sosial kepeda semua
warga Negara secara melembaga dana merata. Anggaran Negara untuk program sosial
mencapai lebih dari 60% dari total belanja Negara.
2.
Model institusional yang
dianut oleh Jerman dan Austria. Seperti model pertama, jaminan sosial
dilaksanakan secara melembaga dan luas. Akan tetapi kontribusi terhadap
berbagai skim jaminan sosial berasal dari tiga pihak (payroll contributions),
yakni pemerintah, dunia usaha dan pekerja (buruh).
3.
Model residual yang dianut
oleh AS, Inggris, Australia dan Selandia baru. Jaminan sosial dari pemerintah
lebih diutamakan kepada kelompok lemah, seperti orang miskin, cacat dan
pengangguran. Pemerintah menyerahkan sebagian perannya kepada organisasi sosial
dan LSM melalui pemberian subsidi bagi pelayanan sosial dan rehabilitasi sosial
“swasta”.
4.
Model minimal yang dianut oleh
gugus Negara-negara latin (Prancis, Spanyol, Itali, Chili, Brazil) dan Asia
(Korea Selatan, Filipina, Srilanka). Anggaran Negara untuk program sosial
sangat kecil, di bawah 10% dari total pengeluaran Negara. Jaminan sosial dari
pemerintah diberikan secara sporadis, tempore dan minimal yang umumnya hanya
diberikan kepada pegawai negeri dan swasta yang mampu mengiur.
Dari paparan di atas dapat dinyatakan bahwa sejatinya Negara
kesejahteraan adalah bentuk perlindungan Negara terhadap masyarakat, terutama
kelompok lemah seperti orang miskin, cacat, pengangguran agar terhindar dari
gilasan mesin kapitalisme. Pertanyaannya adalah atas dasar apa Negara harus
melindungi kelompok lemah, seperti oaring miskin dan orang yang tidak (bisa)
bekerja? Ada beberapa alasan mengapa Negara diperlukan dalam mengatur dan
melaksanakan pembangunan sosial (Suharto, 1999: 2000).
Pertama, pembangunan sosial
merupakan salah satu piranti keadilan sosial yang konkret, terencana dan
terarah, serta manifestasi pembelaan terhadap masyarakat kelas bawah. Tidak
semua warga Negara memiliki kemampuan dan kesempatan yang sama dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya. Negara wajib melindungi dan menjamin kelompok-kelompok
rentan yang tercecer dalam balapan pembangunan.
Kedua, semakin memudarnya
solidaritas sosial dan ikatan kekeluargaan pada masyarakat modern membuat
pelayanan sosial yang tadinya mampu disediakan lembaga keluarga dan keagamaan
semakin melemah. Pembangunan sosial seringkali tidak menghasilkan keuntungan
ekonomi bagi penyelenggaranya, sehingga kurang menarik minat pihak swasta untuk
berinvestasi di bidang ini. Dengan kebijakan yang didukung UU, Negara memiliki
legitimasi kuat untuk melaksanakan investasi sosial berdasarkan “risk-sharing
across populations” yang dananya dialokasikan dari hasil pajak dan sumber
pembangunan lainnya.
Ketiga, Negara perlu memberikan
pelayanan sosial (social services) kepada warganya sebagai bentuk tanggungjawab
moral terhadap rakyat yang memilihnya. Salah satu wewenang yang diberikan publik
kepada Negara adalah memungut pajak dari rakyat. Karenanya, prinsip utama yang
mendorong mengapa Negara perlu memberikan jaminan sosial adalah bahwa semua
bentuk perlindungan sosial di atas termasuk dalam kategori “hak-hak dasar warga
Negara” yang wajib dipenuhi oleh Negara sebagai wujud pertanggungjawaban moral terhadap
konstituen yang telah memilihnya.
Keempat, manusia cenderung
berpandangan “myopic” (pendek) sehingga kurang tertarik mengikuti
program-program sosial jangka panjang. Negara bersifat paternalistik
(pelindung) yang mampu memberikan jaminan sosial secara luas dan merata guna
menghadapi resiko-resiko masa depan yang tidak tentu, seperti sakit, kematian,
pensiun, kecacatan, bencana alam dan sebagainya. (Suharto, 2005: 49-53)
Angka
kemiskinan ini akan lebih besar lagi jika dalam kategori kemiskinan dimasukan
penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) yang kini jumlahnya mencapai
lebih dari 21 juta orang. PMKS meliputi gelandangan, pengemis, anak jalanan,
yatim piatu, jompo terlantar dan penyandang cacat yang tidak memiliki pekerjaan
atau memiliki pekerjaan namun tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Secara umum kondisi PMKS lebih memprihatinkan ketimbang orang miskin. Selain
memiliki kekurangan pangan, sandang dan papan, kelompok rentan (vulnerable
group) ini mengalami pula ketelantaran psikologis, sosial dan politik.
Pembangunan
ekonomi jelas sangat mempengaruhi tingkat kemakmuran suatu negara. Namun,
pembangunan ekonomi yang sepenuhnya diserahkan kepada mekanisme pasar tidak
akan secara otomatis membawa kesejahteraan kepada seluruh lapisan masyarakat.
Pengalaman negara maju dan berkembang membuktikan bahwa meskipun mekanisme
pasar mampu menghasilkan pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja yang optimal,
ia selalu gagal menciptakan pemerataan pendapatan dan memberantas masalah
sosial.
Orang
miskin dan PMKS adalah kelompok yang sering tidak tersentuh oleh strategi
pembangunan yang bertumpu pada mekanisme pasar. Kelompok rentan ini, karena
hambatan fisiknya (orang cacat), kulturalnya (suku terasing) maupun
strukturalnya (penganggur), tidak mampu merespon secepat perubahan sosial di
sekitarnya, terpelanting ke pinggir dalam proses pembangunan yang tidak adil.
Itulah
salah satu dasarnya mengapa negara-negara maju berusaha mengurangi kesenjangan
itu dengan menerapkan welfare state (negara kesejahteraan). Suatu sistem yang
memberi peran lebih besar kepada negara (pemerintah) dalam pembangunan
kesejahteraan sosial yang terencana, melembaga dan berkesinambungan.
Dalam
negara kesejahteraan, pemecahan masalah kesejahteraan sosial, seperti
kemiskinan, pengangguran, ketimpangan dan ketelantaran tidak dilakukan melalui
proyek-proyek sosial parsial yang berjangka pendek. Melainkan diatasi secara
terpadu oleh program-program jaminan sosial (social security), seperti
pelayanan sosial, rehabilitasi sosial, serta berbagai tunjangan pendidikan,
kesehatan, hari tua, dan pengangguran.
3.
Peraturan
Pemerintah Dalam Penanganan Gepeng
Pembangunan
kesejahteraan sosial di Indonesia sesungguhnya mengacu pada konsep negara
kesejahteraan. Dasar Negara Indonesia (sila kelima Pancasila) menekankan
prinsip keadilan sosial dan secara eksplisit konstitusinya UUD
1945 telah di amandemen empat kali pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002 yang
telah menghasilkan rumusan Undang - Undang Dasar yang jauh lebih kokoh menjamin
hak konstitusional warga negara.
Gepeng , anak jalanan, pemerintah,
dan UUD 1945 Pasal 34 ayat 1 saling berhubungan, UUD 1945 Pasal 34 Ayat 1
yang berbunyi Fakir Miskin dan anak - anak yang terlantar dipelihara oleh
negara. UUD 1945 Pasal 34 Ayat 1 tersebut mempunyai makna bahwa gepeng dan anak
- anak jalanan dipelihara atau diberdayakan oleh negara yang dilaksanakan oleh
pemerintah begitupula dalam pasal 27 ayat 2 yang berbunyi Tiap-tiap warga
Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Mengamanatkan tanggungjawab
pemerintah dalam pembangunan kesejahteraan sosial. Namun demikian, amanat
konstitusi tersebut belum dipraktekan secara konsekuen. Baik pada masa Orde
Baru maupun era reformasi saat ini, pembangunan kesejahteraan sosial baru
sebatas jargon dan belum terintegrasi dengan strategi pembangunan ekonomi.
Penanganan
masalah sosial masih belum menyentuh persoalan mendasar. Program-program
jaminan sosial masih bersifat parsial dan karitatif serta belum didukung oleh
kebijakan sosial yang mengikat. Orang miskin dan PMKS masih dipandang sebagai
sampah pembangunan yang harus dibersihkan. Kalaupun di bantu, baru sebatas
bantuan uang, barang, pakaian atau mie instant berdasarkan prinsip belas
kasihan, tanpa konsep dan visi yang jelas. (http://www.policy.hu/suharto/modul_a/makindo_40.htm/
diakses tanggal, 20 Desember 2011)
Kebijakan pemerintah yang pro
rakyat sudah sangat lama ditunggu oleh masyarakat kelas bawah, karena tanpa
adanya kebijakan pemerintah yang legal dan formal untuk mengatasi
masalah-masalah sosial yang ada maka akan sulit untuk di atasi.
Kebijakan-kebijakan pemerintah tertuang dalam peraturan perundang-undangan yang
ada sekarang ini sesuai dengan UU No. 10 Tahun 2004 terdiri dari UUD 1945, UU/Perpu,
PP, Perpres, dan Perda.
Penanggulangan gelandangan dan
pengemisan yang meliputi usaha-usaha preventif, represif, rehabilitatif
bertujuan agar tidak terjadi pergelandangan dan pengemisan, serta mencegah meluasnya
pengaruh akibat pergelandangan dan pengemisan di dalam masyarakat, dan
memasyarakatkan kembali gelandangan dan pengemis menjadi anggota masyarakat
yang menghayati harga diri, serta memungkinkan pengembangan para gelandangan
dan pengemis untuk memiliki kembali kemampuan guna mencapai taraf hidup,
kehidupan, dan penghidupan yang layak sesuai dengan harkat martabat manusia.
Usaha preventif dimaksudkan untuk
mencegah timbulnya gelandangan dan pengemis di dalam masyarakat, yang ditujukan
baik kepada perorangan maupun kelompok masyarakat yang diperkirakan menjadi
sumber timbulnya gelandangan dan pengemis. Usaha sebagaimana dimaksud antara lain dengan: a) penyuluhan dan
bimbingan sosial;
b) pembinaan sosial; c) bantuan sosial; d) perluasan
kesempatan kerja;
e. pemukiman lokal; f)
peningkatan derajat kesehatan.
Usaha represif dimaksudkan untuk
mengurangi dan/atau meniadakan gelandangan dan pengemis yang ditujukan baik kepada
seseorang maupun kelompok orang yang
disangka melakukan pergelandangan dan pengemisan. Usaha represif sebagaimana dimaksud meliputi: razia, penampungan
sementara untuk diseleksi,
pelimpahan.
Usaha tindak lanjut ditujukan kepada gelandangan dan
pengemis yang telah disalurkan, agar mereka tidak kembali menjadi gelandangan
dan pengemis dengan
meningkatkan
kesadaran berswadaya,
memelihara, memantapkan dan meningkatkan kemampuan sosial ekonomi, dan menumbuhkan
kesadaran hidup bermasyarakat.
Usaha rehabilitatif terhadap gelandangan dan pengemis
meliputi usaha-usaha penampungan, seleksi, penyantunan, penyaluran dan tindak
lanjut, bertujuan agar fungsi sosial mereka dapat berperan kembali sebagai
warga masyarakat. Usaha rehabilitatif sebagaimana dilaksanakan
melalui Panti Sosial.
BAB
III
METODE
PENELITIAN
A. JENIS
DAN PENDEKATAN
Jenis penelitian ini adalah penelitian kebijakan
(studi kebijakan). Penelitian kebijakan merupakan penawaran kompromi, terutama
antara peneliti dengan klien atau stakeholder.
Menurut Coleman sebagaimana yang dikutip Sudarwan Danim dalam bukunya Pengantar
Studi Penelitian Kebijakan bahwa dikarenakan penelitian kebijakan beroperasi
pada batas metodologi penelitian pada umumnya (terutama penelitian ilmu-ilmu
sosial), maka tidak ada metodologi tunggal, metodologi yang komprehensif untuk
melaksanakan analisis teknikal dari penelitian kebijakan. Salah satu metode
penelitian kebijakan yaitu: metode kualitatif (Sri Rahayu, dalam http://ilmumetodepenelitian.blogspot.com/2009/11/).
Adapun pendekatannya adalah kualitatif yakni untuk
mencari data primer dalam penelitian ini antara lain wawancara, observasi dan
kelompok terfokus. Kelompok terfokus ialah salah satu jenis teknik yang dapat
dipakai, dimana individu dicari secara terseleksi dalam kelompok dan diarahkan
kepada diskusi yang terfokuskan pada topik pra spesifik. Kelompok semacam ini
sangat baik untuk membangun isu dan menjejaki faktor-faktor potensial sebagai
penyebab suatu peristiwa.
Jenis penelitian ini dimaksudkan untuk penjelajahan
di lapangan dan klasifikasi (pejelasan) mengenai suatu fenomena atau kenyataan
sosial dengan jalan mendeskripsikan sejumlah variabel yang berkenaan dengan masalah
dan unit yang diteliti terutama dalam penelitian studi kebijakan.
Pendekatan kualitatif adalah salah satu pendekatan
dalam melakukan penelitian yang berorientasi pada gejala-gejala yang bersifat
alamiah karena orientasinya demikian, maka sifatnya naturalistik dan mendasar
atau bersifat kealamiahan serta tidak bisa dilakukan di laboraturium melainkan
di lapangan. (Moleong, 2006).
Penggunaan
pendekatan kualitatif dalam penelitian ini sesuai dengan apa yang dikatakan
oleh Strauss dan Corbin (1990), yaitu bahwa pendekatan kualitatif adalah
hal-hal yang berkaitan dengan deskripsi proses dan mekanisme perubahan,
terutama dalam konteks historis, baik pada dimensi kultural maupun sosial.
B.
LOKASI PENELITIAN
Untuk
kepentingan penelitian ini guna memperoleh data yang baik maka lokasi yang
dipilih adalah Kabupaten
Lombok Timur yaitu di Kota Selong, lebih khusus lagi di Dinas Sosial Tenaga
Kerja Dan Transmigrasi. Alasan memilih lokasi penelitian ini karena lokasi
penelitian lebih mudah dijangkau dan sesui dengan karakter judul penelitian
ini.
C. SUBYEK
PENELITIAN
Pada
penelitian ini, subyek penelitian atau yang menjadi informan adalah pemerintah
daerah yang menangani masalah sosial khususnya gelandangan dan pengemis yaitu
Dinas Sosial Transmigrasi dan Tenaga Kerja Kabupaten Lombok Timur. Pada subyek
penelitian ini bersifat Purposive
sampling adalah pemilihan sampling penelitian dengan pertimbangan dan
tujuan tertentu, misalnya orang tersebut dianggap paling tahu tentang
permasalahan dalam penelitian ini sehingga akan memudahkan peneliti menjelajahi
obyek/situasi yang diteliti.
D. JENIS
DAN SUMBER DATA
1.
Jenis Data
Adapun dalam
penelitian kualitatif menggunakan dua jenis data yaitu jenis data primer dan
jenis data sekunder.
a.
Data primer
Data primer
merupakan sumber data penelitian yang diperoleh secara langsung dan tidak
melalui media perantara. Data primer dapat berupa opini subyek (orang) secara
individu atau kelompok, hasil observasi terhadap suatu benda (fisik), kejadian
atau kegiatan, dan hasil pengujian.
b.
Data sekunder
Data sekunder
merupakan sumber data penelitian yang diperoleh peneliti secara tidak langsung
melalui media perantara (diperoleh dan dicatat oleh pihak lain). Data sekunder
umumnya berupa bukti, catatan, atau laporan historis yang telah tersusun dalam
arsip (data dokumenter) yang dipublikasikan maupun yang tidak dipublikasikan.
Data ini menyangkut kondisi daerah lokasi penelitian dan data lainnya yang
menunjang penelitian. (Sangadji dan Sopiah, 2010: 44)
2.
Sumber Data
Menurut
Lofland dalam Meleong (2000:112) sumber data utama dalam penelitian kualitatif
adalah kata-kata, dan tindakan selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen
dan lain-lain. Berkaitan dengan hal itu pada bagian ini jenis datanya berupa kata-kata
dan tindakan, sumber data tertulis, foto dan statistik. Sedangkan sumber data
yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yang diambil dari
observasi dan wawancara, sedangkan data skundernya menggunakan foto-foto dan
tape rekaman (Moleong, 2006: 157).
Dalam
penelitian kualitatif, sampel sumber data dipilih secara purposive dan bersifat snowball
sampling. Purposive sampling adalah pemilihan sampling penelitian dengan pertimbangan
dan tujuan tertentu, misalnya orang tersebut dianggap paling tahu tentang permasalahan
dalam penelitian ini sehingga akan memudahkan peneliti menjelajahi obyek/situasi
yang diteliti.
Snowball sampling adalah
teknik pengambilan sumber data, pada awalnya jumlahnya sedikit, lama-lama
menjadi besar. Hal ini dilakukan karena jumlah sumber data yang sedikit itu
belum mampu memberikan data yang lengkap, maka perlu mencari orang lain lagi
yang dapat digunakan sebagai sumber data. Dengan demikian sampel data akan
semakin besar, separti bola salju yang menggelinding, lama-lama menjadi besar
(Sugiyono, 2009: 124-125).
E.
TEKNIK PENGUMPULAN DATA
Dalam rangka mempermudah proses pengumpulan data dan
untuk mengangkat data yang dikumpulkan, penulis harus mampu memilih teknik dan
strategi yaitu, memilih dan menetapkan metode yang efektif, efisien dan tepat
guna serta relevan dengan jenis data yang hendak dikumpulkan.
Untuk mengadakan atau mengumpulkan data sebagai jalan
pendukung dalam melaksanakan penelitian ini maka penulis akan mengumpulkan data dengan
menggunakan beberapa metode antara lain adalah:
1)
Metode Observasi
Metode observasi
adalah suatu sistem atau cara mengumpulkan data dengan mengadakan pengamatan
yang sistematis terhadap gejala-gejala yang akan diteliti. Dalam penelitian ini
observasi dilakukan untuk mengetahui peran pemerintah daerah dalam penanganan
gepeng di kota selong. Pada metode observasi ini peneliti secara langsung
mengamati apa yang terjadi di lapangan sehingga peneliti mengetahui
gejala-gejala yang timbul/masalah yang ada di lapangan (Usman dan Akbar, 2009: 54).
2)
Metode Interview
Metode interview
disebut juga metode wawancara adalah percakapan yang dilakukan oleh dua belah
pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan terwawancara
(interviewee) yang memberikan jawaban
atas pertanyaan itu (Moleong, 2006: 186).
Dalam hal ini
peneliti mewawancarai responden terkait yaitu pihak dari Dinas sosial, para
penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) khususnya para pengemis dan
gelandangan.
3)
Metode
Dokumentasi
Dokumentasi
mempunyai benda-benda tertulis atau catatan penting. Metode dokumentasi adalah
metode pengambilan data yang diperoleh dari dokumen-dokumen. Jadi dalam
dokumentasi ini berupa foto-foto serta berupa data tertulis. (Usman dan Akbar, 2009: 69)
F.
UJI KEABSAHAN DATA
Untuk mendapatkan keabsahan data diperlukan teknik
pemeriksaan. Pelaksanaan teknik pemeriksaan didasarkan atas sejumlah kriteria
tertentu. Ada 4 kriteria yang digunakan yaitu :
1.
Derajat dan
kepercayaan (credibillity)
Penerapan
derajat kepercayaan ini berfungsi dalam penelitian ini untuk melaksanakan
inguisi sedemikian rupa sehingga tingkat kepercayaan penemu dapat dicapai,
mempertunjukkan derajat kepercayaan hasil-hasil penemuan dengan jalan
membuktikan oleh peneliti pada kenyataan yang sedang diteliti.
Artinya bahwa
seorang peneliti di lapangan harus bisa meningkatkan kepercayaannya tehadap apa
yang ditemukan di lapangan dan peneliti harus mampu menunjukkan hasil temuannya
disertai bukti-bukti yang nyata.
2.
Keteralihan (transferbillity)
Bahwa suatu
penemuan dalam penelitian ini dapat berlaku atau dapat diterapkan pada suatu
konteks dalam populasi yang sama atas dasar penemuan yang diperoleh. Artinya
bahwa keteralihan seorang peneliti harus bisa diterapkan di lapanngan terhadap
segala apa yang ditemukan yang sesuai dengan apa yang dikehendaki peneliti.
3.
Ketergantungan
(dependabillity)
Ketergantungan
dalam penelitian ini maksudnya antara data yang diperoleh observasi, wawancara,
dan dokumentasi saling keterkaitan sehingga memperoleh suatu kesimpulan.
4. Kepastian (konfermabillity)
Kriteria
kepastian ini berasal dari konsep objektifitas dalam penelitian kualitatif ini
menekankan pada datanya itu sendiri, jadi isinya di sini keterkaitan ciri-ciri
data. Dari sinilah data dicocokkan antara informasi apa yang telah didapatkan
dari para intrumen dan dinas sosial, dengan data yang sudah didokumentasikan
sehingga hasil penelitian ini dapat dipastikan kebenarannya (Moleong, 2006: 324-326).
G.
TEKNIK ANALISIS DATA
Data yang terkumpul selama peneliti melakukan
penelitian perlu dianalisis dengan teliti, secara ulet dan cakap, sehingga
diperoleh suatu kesimpulan yang objektif dari suatu penelitian. Bila data dan
informasi yang sudah diperoleh itu dianalisis dan interpretasikan, maka akan
diketahui tentang peran pemerintah daerah dalam menanggulangi gepeng di
kabupaten Lombok Timur.
Menurut
Bogdan dan Biklen (1992), analisis data adalah proses pencarian dan penyusunan
data yang sistematis melalui transkrip wawancara, catatan lapangan, dan
dokumentasi yang secara akumulasi menambah pemahaman peneliti terhadap yang
ditemukan. Sedangkan menurut Spradley (1997), analisis data merujuk pada
pengujian sistematis terhadap sesuatu untuk menentukan bagian-bagiannya,
hubungan diantara bagian-bagian, dan hubungan bagian-bagian itu dengan
keseluruhan. Nasution (1988) menyatakan bahwa analisis data ialah proses
menyusun data agar dapat ditafsirkan. Menyusun data berarti menggolongkannya
(mengategorikannya) dalam pola atau tema. Tafsiran atau interpretasi artinya
memberikan makna terhadap analisis, menjelaskan pola atau kategori, serta
mencari hubungan antara berbagai konsep.
Dari definisi-definisi di atas dapat disimpulkan
bahwa analisis data ialah kegitan analisis mengategorikan data untuk mendapatkan
pola hubungan, tema, menafsirkan apa yang bermakna, serta menyampaikannya atau
melaporkannya kepada orang lain yang berminat (Usman dan Akbar, 2009: 84).
Penelitian kualitatif menggunakan analisis data
secara induktif. Analisis data secara induktif ini digunakan karena beberapa
alasan. Pertama, proses induktif
lebih dapat menemukan kenyataan-kenyataan jamak sebagai yang terdapat dalam
data. Kedua, analisis lebih dapat
membuat hubungan peneliti-responden menjadi eksplisit, dapat dikenal dan
akuntabel. Ketiga, analisis demikian
lebih dapat menguraikan latar secara penuh dan dapat membuat keputusan tentang
dapat-tidaknya pengalihan pada suatu latar lainnya. Keempat, analisis induktif lebih banyak menemukan pengaruh bersama
yang mempertajam hubungan-hubungan. Kelima,
analisis demikian dapat memperhitungkan nilai-nilai secara eksplisit sebagai
bagian dari struktur analitik (Moleong, 2006: 10).
Analisis data kualitatif bersifat induktif yaitu
suatu analisis yang diperoleh, selanjutnya dikembangkan pola hubungan tertentu
atau menjadi hipotesis. Berdasarkan hipotesis yang dirumuskan berdasarkan data
tersebut, selanjutnya dicarikan data lagi secara berulang-ulang sehingga
selanjutnya dapat disimpulkan apakah hipotesis tersebut diterima atau ditolak
berdasarkan data yang terkumpul. Bila berdasarkan data yang dikumpulkan secara
berulang-ulang dengan teknik triangulasi, ternyata hipotesis diterima, maka
hipotesis tersebut berkembang menjadi teori (Sugiyono, 2009: 335).
BAB
IV
GAMBARAN
UMUM LOKASI PENELITIAN
A.
Letak dan Luas Wilayah
Kabupaten
Lombok Timur adalah salah satu kabupaten diantara sepuluh Kabupaten/Kota di Provinsi Nusa Tenggara
Barat, di sebelah timur pulau Lombok, dengan letak geogarfis antara 116o-117o
bujur timur dan 8o-9o lintang selatan. Luas wilayahnya
tercatat 2.679,88 Km2, terdiri atas daratan seluas 1.605,55 Km2
atau (59,91%) dan lautan seluas 1.074,33 Km2 (40,09%). Secara administartif
kabupaten Lombok Timur terdiri dari 20 kecamatan, 13 kelurahan, 106 desa, 772
lingkungan/ dusun dengan batas administrative sebagai berikut:
Sebelah Timur :
Selat Alas
Sebelah Selatan :
Samudara Indonesia
Sebelah Barat :
Kabupaten Lombok Barat dan Lombok Tengah
Sebelah Utara : Laut Jawa
Luas dartan
kabupaten Lombok Timur mencakup 33,88 persen dari luas pulau Lombok atau 7,97
persen dari luas daratan Propinsi Nusa Tenggara Barat.
Pada tahun
2009 penggunaan lahan daratan seluas 160.555 ha terdiri atas lahan sawah seluas
45.521 ha (28,35 persen) dan lahan kering seluas 115.034 ha (71,65 persen).
Lahan kering ini sebagian besar atau sekitar 48,62 persennya berupa hutan
Negara dan hutan rakyat.
B. Demografi
dan Mata Pencaharian
Jumlah
penduduk di kabupaten Lombok Timur cenderung meningkat. Dengan laju pertumbuhan
rata-rata 1,33 persen per tahun diperkirakan jumlah penduduk Lombok Timur 2009
mencapai 1.096.165 jiwa.
Menurut hasil
sensus penduduk 2010, jumlah penduduk Lombok Timur adalah 1.105.671 jiwa
terdiri dari 514.327 jiwa penduduk laki-laki dan 591.344 jiwa penduduk perempuan.
Ratio jenis kelamin Lombok Timur sebesar 87. Hal ini menggambarkan jumlah
penduduk perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki.
Table 2
Rata-rata anggota rumah tangga menurut kecamatan di Kabupaten Lombok
Timur (Hasil sensus penduduk 2010)
No
|
Kecamatan
|
Jumlah rumah
tangga
|
Jumlah
penduduk
|
Rata-rata anggaran rumah tangga
|
(1)
|
(2)
|
(3)
|
(4)
|
(5)
|
1
|
Keruak
|
13,577
|
47,693
|
3.51
|
2
|
Jerowaru
|
15,729
|
53,200
|
3.38
|
3
|
Sakra
|
14,623
|
52,833
|
3.61
|
4
|
Sakra barat
|
13,667
|
46,826
|
3.43
|
5
|
Sakra timur
|
12,026
|
41,033
|
3.41
|
6
|
Terara
|
19,603
|
65,488
|
3.34
|
7
|
Montong gading
|
12,753
|
40,556
|
3.18
|
8
|
Sikur
|
19,719
|
67,616
|
3.43
|
9
|
Masbagik
|
27,550
|
93,927
|
3.41
|
10
|
Pringgasela
|
14,681
|
50,081
|
3.41
|
11
|
Sukamulia
|
8,741
|
30,392
|
3.48
|
12
|
Suralaga
|
15,738
|
51,837
|
3.29
|
13
|
Selong
|
24,206
|
82,505
|
3.41
|
14
|
Labuhan haji
|
15,759
|
53,134
|
3.37
|
15
|
Pringgabaya
|
25,554
|
90,605
|
3.55
|
16
|
Suela
|
11,512
|
37,609
|
3.27
|
17
|
Aikmel
|
27,183
|
92,818
|
3.41
|
18
|
Wanasaba
|
17,466
|
59,282
|
3.39
|
19
|
Sembalun
|
5,548
|
18,776
|
3.38
|
20
|
Sambalia
|
8,292
|
29,460
|
3.55
|
Jumlah
|
323,927
|
1,105,671
|
3.41
|
Sumber: Badan Pusat Statistik
Kabupaten Lombok Timur
Berdasarkan
kelompok umurnya diketahui bahwa penduduk di Kabupaten Lombok Timur sebagian
besar (63,50%) tergolong penduduk usia produktif (15-64 tahun) sebelebihnya tergolong penduduk
bukan usia produktif yang terdiri atas 31,40% penduduk ana-anak (0-14 tahun) dan 5,10% penduduk lansia (65
tahun).
Mata
pencaharian penduduk di Kabupaten Lombok Timur sebagian besar dari sector
pertanian (59,55%), selebihnya dari sector perdagangan, hotel, restouran
(11,95%), jasa-jasa (9,14%), industry (8,83%) dan lain-lain (10,53%) keadaan
ini juga diperlihatkan dari pola penggunaan lahan yang ada, yaitu pemukiman
(5,01%), hutan (34%), tanah kosong (tandus, kritis) 1%.
C.
Pendidikan
Tingkat
pendidikan merupakan salah satu indicator penting dalam penentuan pencapaian
angka indeks pembangunan manusia (IPM) yang tinggi bagi suatu daerah. Ada dua
indicator pendidikan yang termasuk dalam indicator IPM yaitu angka melek huruf
dan angka rata-rata lama sekolah penduduk usia 10 tahun ke atas.
Dilihat dari
persentase penduduk laki-laki dan perempuan berusia 10 tahun ke atas menurut
tingkat pendidikan tertinggi yang ditamatkan menunjukkan bahwa tingkat
pendidikan penduduk laki-laki yang paling banyak adalah SD/MI (28,82%) dan
paling sedikit adalah perguruan tinggi (5,81%) sedangkan tingkat pendidikan
penduduk perempuan paling banyak juga SD/MI (29,79%) dan paling sedikit adalah
perguruan tinggi (1,16%).
Tingkat pendidikan yang telah dicapai oleh
masyarakat di suatu daerah merupakan salah satu indicator tingkat kesejahteraan
masyarakat di suatu daerah tersebut. Semakin tinggi tingkat pendidikan
masyarakat maka tingkat kesejahteraan masyarakat relative semakin tinggi.
Selain tingkat pendidikan yang dapat dicapai masyarakat, pemerataan pendidikan
juga perlu mendapatkan perhatian. Pendidikan yang merata akan memudahkan
penyerapan informasi secara benar oleh masyarakat.
Begitu
pentingnya peran pendidikan dalam menopang kelangsungan hidup masyarakat, pemerintah dalam salah satu
program kerjanya berusaha untuk meningkatkan mutu dasar sumber daya manusia
sejak usia dini untuk mengenyam pendidikan yang layak. Pemerintah melalui
program wajib belajar mengharuskan penduduk usia sekolah 6-7 tahun dapat
mengikuti pendidikan formal SD sampai SLTP.
Sebagai
gambaran perkembangan pendidikan di Kabupaten Lombok Timur salah satunya dapat
dilihat melalui ratio murid-sekolah dan murid-guru. Kedua angka ini menunjukkan
sejauh mana kecukupan daya tampung fasilitas sekolah dan kuantitas guru dalam
proses belajar mengajar. Pada prinsipnya semakin kecil nilai ratio tersebut
mempunyai makna yang lebih baik sebab pengawasan terhadap murid lebih intensif.
Tabel 1
Ratio Murid-Guru Menurut Jenjang Sekolah di Kabupaten Lombok Timur Tahun
2008-2009
No
|
Jenjang Sekolah
|
Ratio Muri-Sekolah
|
Ratio
Murid-Guru
|
||
2008
|
2009
|
2008
|
2009
|
||
(1)
|
(2)
|
(3)
|
(4)
|
(5)
|
(6)
|
1
|
TK
|
33
|
54,89
|
9
|
14,49
|
2
|
SD/MI
|
179
|
179,68
|
16
|
15,47
|
3
|
SLTP/MTs
|
197
|
201,36
|
9
|
8,53
|
4
|
SLTA/MA/SMK
|
239
|
229,78
|
9
|
8,62
|
Sumber: BPS Kabupaten Lombok Timur (Data Diolah)
Pada tabel
dapat dilihat secara umum perbandingan kuantitas antara Murid-Guru pada tahun
2009 mencerminkan kondisi yang lebih baik jika dibandingkan dengan kondisi
tahun 2008.
D. Kesehatan
Fasilitas
kesehatan yang tersedia di kabupaten Lombok Timur yaitu 2 buah rumah sakit,
diantaranya di Kecamatan Selong dan Kecamatan Labuhan Haji. Selain itu jaga
terdapat puskesmas yang tersebar di seluruh kecamatan dalam wilayah Kabupaten
Lombok Timur, bahkan di Kecamatan Aikmel fasilitas kesehatan didukung dengan
tersedianya 3 unit peskesmas.
Selain
fasilitas kesehatan, juga didukung dengan adanya tenaga kesehatan. selama tahun
2009 tercatat dokter spesialis sebanyak 1 orang, dokter umum sebanyak 34
oarang, dokter gigi sebanyak 12 orang, dan tenaga kesehatan lainnya sebanyak
591 orang.
E. Kondisi
ekonomi
Pertumbuhan
ekonomi Kabupaten Lombok Timur (laju pertumbuhan produk domestic regional bruto
(PDRB)) selama 5 tahun terakhir dalam periode 2004-2008 bersifat fluktuatif
yaitu sebesar 4,85% (2004) dan mengalami penurunan menjadi 4,57% (2005) kemudian mengalami kenaikan menjadi
4,69% (2006) dan pada tahun 2007 meningkat menjadi 5,09% kemudian meningkat lagi
menjadi 5,47% selama tahun 2008.
Berdasarkan
analisis reggresi diperoleh bahwa meskipun pertumbuhan
F.
Kemiskinan
Kemiskinan di Kabupaten Lombok Timur
dalam priode sebelumnya (2003-2006) tidak mengalami dimana prosentase penduduk
miskin pada tahun 2003 mencapai 27,49%, tahun 2004 mencapai 26,57%, pada tahun
2005 mencapai 26,08% dan pada tahun 2006 mencapai 27,44%. Prosentase rata-rata
penduduk miskin di Kabupaten Lombok Timur dalam priode 2003-2006 mencapai
21,55%, artinya jauh di atas rata-rata tingkat kemiskinan provinsi NTB sebesar
16,8% dalam priode yang sama.
BAB V
PERAN PEMERINTAH DAERAH
DALAM PENANGANAN GEPENG (STUDI KEBIJAKAN PEMERINTAH DAERAH DI KOTA SELONG)
Faktor
kemiskinan absolute sangat mempengaruhi terjadinya perilaku seseorang yang ujungnya
adalah munculnya para gepeng, kemiskinan absolute adalah keadaan miskin yang
diakibatkan oleh ketidak mampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhan pokoknya,
seperti untuk makan, pakaian, pendidikan, kesehatan, transportasi dan
lain-lain, selain itu juga kemiskinan struktural juga merupakan faktor yang
berindikasi sebagai penyebab kemiskinan yang secara turun temurun akan diwarisi
kepada keturunannya dan hal ini yang menyebabkan rantai kemiskinan yang tidak
akan putus.
Kemunculan Gepeng merupakan indikasi semakin
kompleksnya penyakit sosial di masyarakat. Tidak saja kemiskinan masih
berkembang dalam kehidupan masyarakat, mentalitas miskin juga semakin merebak
pada sebagian individu yang masih berada dalam usia produktif. Dengan begitu
menjadi gelandangan dan pengemis itu adalah pilihan yang mudah untuk
mendapatkan penghasilan dalam waktu yang singkat. Dengan bermodal baju kumuh
dan wajah memelas tanpa merasa kehilangan harga diri.
Kemunculan di Kota Selong sekarang ini
menjadi fenomena menarik, di mana sekarang ini para gelandangan, pengemis dan
lainnya bergentayangan. Tidak hanya di rumah penduduk namun di perkantoran pun
merebak. Mereka para gepeng ini keluar masuk kantor, dari kantor yang satu ke
kantor yang lain. Ironisnya, para gepeng ini adalah berbadan sehat dan normal.
Mulai dari anak-anak sampai orang dewasa.
Munculnya Gepeng di kota Selong memang
merupakan fenomena yang sejak lama terjadi. Sasaran mereka memilih Kota Selong
ini dengan alasan yang sangat sederhana yakni tingginya mobilitas sosial
masyarakat dan kota adalah pusat perekonomian.
Rendahnya
pertumbuhan ekonomi daerah ini menyebabkan kemampuan daerah untuk menciptakan
lapangan pekerjaan menjadi sangat terbatas dan menyebabkan pengangguran menjadi
banyak. Di samping itu juga rendahnya pertumbuhan ekonomi ini mengakibatkan
jumlah penduduk miskin di Kabupaten Lombok Timur masih sangat banyak yaitu
138.322kk atau 691.610 orang.
Bagi kita pada saat sekarang ini kemiskinan yang sangat sering
dihadapi mengenai masalah kurangnya kebutuhan pangan, masalah ini yang paling
mendesak dan paling rawan bagi masyarakat.
Semakin
banyak jumlah orang miskin semakin potensial mereka menjadi gepeng. Menurut
hasil wawancara saya dengan salah satu pimpinan bagian masalah kemiskinan yaitu
Jumedan S, sos. Sebagai Kabag Kemiskinan Mengutarakan:
“Sebagian besar
kemiskinan/faktor ekonomi merupakan alasan utama para gelandangan dan pengemis
melakukan aktivitas mereka untuk menggepeng seperti yang pernah kami tanyakan
alasan apa yang membuat mereka melakukan pekerjaan itu dan ternyata rata-rata
jawaban mereka sama karna faktor ekonomi. Ada juga yang melakukannya karna
tidak adanya pengalaman dalam bekerja, mereka juga malas bekerja yang pantas
dengan fisik yang mendukung dalam bekerja, banyak kan yang kita lihat para
pengemis yang seharusnya bisa bekerja normal malah bekerja sebagai pengemis.”
(wawancara 6 Desember 2011).
Hal
ini sesui dengan apa yang dituturkan oleh salah satu pengemis yang berasal dari
Ijobalit yang mengatakan:
“Saya menekuni
pekerjaan sebagai pengemis sudah belasan tahun, sejak pasar Selong yang lama.
Setelah pasar Selong digusur saya mencari lokasi di emperan toko. Saya melakukan
pekerjaan ini untuk memenuhi kebutuhan keluarga saya, lebih-lebih saya
mempunyai dua orang anak yang masih sekolah. Saya hanya bisa menghidupi
keluarga dari meminta-minta sebab secara fisik saya memiliki keterbatasan
(cacat)”.
Pembangunan
bidang pendidikan yang selama ini telah dilaksanakan belum sepenuhnya mampu
memenuhi hak-hak dasar masyarakat sehingga kualitas sumberdaya manusia di
Kabupaten Lombok Timur masih tergolong rendah. Hal ini terlihat dari masih
rendanya angka melek huruf dan lama sekolah. Pada tahun 2007 angka melek huruf
baru mencapai 79,81% dengan rata-rata lama sekolah 6,31 tahun.
Sukardiman
menyatakan
“Secara umum
tingkat pendidikan di Kabupaten Lombok Timur tergolong masih rendah. Nah hal
ini yang mengakibatkan banyaknya masyarakat yang belum mengecam pendidikan dan
buta aksara, karena keterbatasan kemampuan/pendidikan yang yang mereka miliki
untuk dikembangkan, sehingga banyak masyarakat yang tidak mempunyai pekerjaan
dan akibatnya mereka lebih memilih mencari makan dengan cara instan seperti
mengemis, mencuri, dan masih banyak lagi yang lainnya.” (wawancara dengan Kabid
Penanganan Penyandang Cacat Sosial di Dinas STT, Lombok Timur, 06 Desember
2011).
Hal
ini juga diungkapkan oleh salah seorang gepeng bernama Amaq Udin) berasal dari Kampung
Baru Kelurahan Majidi mengatakan, pendidikannya yang rendah membuatnya harus
mencari pekerjaan yang mengandalkan fisik. Kerja serabutan untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya bersama keluarga.
“Saya dulunya
bekerja sebagai pendorong gerobak (ngoros cikar), yang penghasilannya tidak
seberapa dan hanya untuk memenuhi kebutuha makan saja, isteri saya hanya
sebagai ibu rumah tangga tidak memiliki keterampilan sama seperti saya.
Lama-kelamaan jasa sebagai tukang ngoros cikar tidak dibutuhkan lagi karena
kalah saing dengan tukang ojek. Itulah sebabnya saya harus meminta-minta
terlebih juga penghasilan yang saya dapatkan lebih basa mencukupi kebutuhan
sehari-hari dan sisanya bisa saya tabung untuk keperluan sekolah anak saya.
Saya hanya tamatan SMP dan tidak memiliki pengalama apa-apa dalm bekerja.”
(wawancara, 6 Desember 2011).
Dengan demikian, peranan pendidikan
sangat penting dalam menopang kelangsungan hidup masyarakat akan tetapi tingkat
pendidikan di Kabupaten Lombok Timur masih rendah. Kondisi ini juga
diperlihatkan oleh betapa rendahnya angka pendidikan sekolah (APS) penduduk
usia sekolah terutama APS penduduk usia SLTP danSLTA yaitu masing-masing 84,63%
dan 50,61% kualitas pendidikan juga masih rendah dan belum mampu memenuhi
kebutuhan kompetensi peserta didik. Hal tersebut terutama disebabkan oleh
kurang dan belum meratanya pendidik baik secara kuantutas maupun kualitas
kesejahteraan pendidik yang masih rendah.
A.
Peran
Pemerintah Daerah Dalam Penanganan Gepeng
Sebagai salah satu potret kemiskinan di
Lombok Timur adalah masih banyak ditemukannya gelandangan dan pengemis
(gepeng), anak jalanan (anak terlantar) yang tidak bisa menikmati sekolah dan
masih banyak terlihat di emperan toko, perkantoran, taman kota Selong, pasar
Pancor dan juga rumah-rumah penduduk di sekitar kota Selong.
Kehadiran mereka sering kali dianggap
sebagai cerminan kemiskinan yang ada di Lombok Timur atau suatu kegagalan yang
adaptasi kelompok orang terhadap kehidupan dinamis kota, terutama di bulan
ramadhan biasanya gepeng dan anjal meningkat drastis seperti bulan puasa
kemarin, masih banysak ditemukan dan tidak hanya di kota Selong saja.
Hal ini menjadi tugas pemerintah daerah
Lombok Timur dalam menangani masalah-masalah kesejahreteraan sosial seperti
gelandangan, pengemis, anak jalanan dan masih banyak masalah-masalah sosial
lainnya. Pemrintah tidak hanya berpangku tangan dengan semua ini diantaranya
pemrintah telah mengagendakan beberapa program unuk menangani PMKS termasuk di
dalamnya adalah gepeng itu sendiri. Peran yang dilakukan pemerintah yang sudah
menjadi programnya adalah:
a.
Melakukan pendataan
Danas Sosial Tenaga Kerja Dan
Teransmigrasi (STT) Lombok Timur selaku pemerintah yang menangani persoalan
tersebut mengaku kesulitan dalam menangani gepeng tersebut terlebih dalam
pendataan. Tidak banyak gepeng yang mau didata dan pendataannya sangat sulit
sebab kebanyakan diantara mereka banyak yang berpindah-pindah tempat untuk
menggepeng. Gepeng khususnya pengemis kebanyakan musiman dan hal ini terjadi
pada bulan ramadhan, banyak pengemis yang berkeliaran untuk meminta-minta,
sehingga data gepeng yang ada di dinas terkait tidak valid. Berdasarkan
penuturan bapak Wirabuana.
“setiap
kali kami melakukan pendataan terhadap gepeng tersebut sulit sekali kami
menemuka mereka, sebab setiap kami melakukan pendataan mereka selalu
menghindar, tidak mau didata kadang juga mereka mangkalnya di tempat yang
berbeda-beda, ada yang mangkal di pasar terminal pancor, emperan toko, keliling
di rumah penduduk dan masih banyak lagi tempat yang dijadikan sebagai tempat
mangkal mereka. Banyak juga yang dari luar Lombok Timur ang datang minta-minta
kesini dan ini menjadi tugas kami sebagai pemerintah yang menangani masala ini
untuk menertibkannya” (wawancara 16
desember 2011).
b.
Melakukan razia bagi para gepeng yang
masih berkeliaran di jalan
Kepala
Dinas STT, Drs. H Sirman menuturkan,
“menghadapi
persoalan gepeng yang terdapat di kota Selong sudah berulang kali dilakukan
razia dan penertiban dengan melibatkan polisi pamong praja (pol-pp), namun
sampai saat ini belum bisa dituntaskan. Setiap mereka tertangkap oleh pol-pp
mereka dibawa ke kantor Dinas STT untuk dimintai keterangan mengapa mengemis
dan masih mangkal disana, setelah mereka diberikan pengertian mereka diberikan
pesangon untuk membuka usaha kecil-kecilan, akan tetapi mereka tetap masih
beraktivitas seperti semula dan mereka menolak untuk diberikan pembinaan.” (Corong
rakyat 17 Oktober 2011).
Banyak sekali usaha yang telah dilakukan
oleh pemerinta untuk menangani masalah gepeng mulai dari pendataan yang
mengalami kesulitan dari para gepeng yang enggan mau didata kemudian razia yang
bertujuan untuk menertibkan para gepeng pun tidak berhasil sepenuhnya karena
pada dasarnya para gepeng tidak mau dibina oleh pemerintah, ada sebagian dari
gepeng yang mau dibina oleh pemerintah yang kini berada dalam asuhan
pemerintah.
c.
Melakukan pembinaan dan pelatihan
Dalam melakukan pembinaan terhadap
gepeng, pemerintah daerah kabupaten Lombok Timur melalui Dinas Sosial Tenaga
Kerja dan Transmigrasi terus melakukan dengan
maksimal, hanya saja pemerintah juga masih menemukan banyak kendala termasuk
dari gepeng yang bersangkutan, seperti tidak mau didata, tidak mau diberikan
pelatihan keterampilan, padahal pemerintah telah memberikan dana bantuan, akan
tetapi mereka susah meningalkan kebiasaan mereka itu. Disinilah karakter dan
mental ……..Berdasarkan informasi yang peneliti peroleh dari Lalu Wirabuana,
mengatakan:
“gelandangan dan pengemis merupakan masalah
sosial yang membutuhkan perhatian yang lebih, dimana mereka harus menanggung
beban sosial yang harus dihadapi yaitu: di cemooh oleh orang atau masyarakat
dan terpinggirkan. Untuk mengatasi hal-hal ini kami melakukan beberapa usaha
yang akan membantu mereka yaitu melakukan pembinaan dan pelatihan kepada para
gepeng. ”
Program yang dilakukan pemerintah daerah
dalam penanganan gepeng diantaranya yaitu:
1.
Melakukan pembinaan fisik dan mental.
Pembinaan fisik yang dilakukan yaitu:
penerapan hidup sehat dengan berolahraga sedangkan pembinaan mental yang
dilakukan yaitu: memberikan penyuluhan dan pemahaman dan nasehat bagaima mereka
bisa berhenti meminta-minta dan menggelandang.
2.
Melakukan pelatihan keterampilan.
Disini pemerintah memberikan pelatihan
kepada para penyandang masalah kesejahteraan sosial khususnya para gepeng.
Pelatihan yang di berikan berupa pelatihan tataboga bagi perempuan dan
pelatihan pertukangan/pembangunan untuk para laki-laki.
Berdasarkan data di atas peran
pemerintah dalam penanganan gepeng tersebut dilakukan di tempat rehabilitasi
yaitu di Panti Sosial Bina Karya (PSBK) berlokasi di Lenek Daya. Panti sosial
bina karya merupakan tempat rehabilitasi para PMKS termasuk gelandangan dan
pengemis. PSBK sendiri merupakan penampungan PMKS dari semua kabupaten yang ada
di NTB, dalam proses pembinaan dilakukan selama 6 bulan dan sudah disediakan
asrama untuk tempat tinggal selama dalam masa pembinaan (wawancara 14 Desember 2011).
Penanggulangan gelandangan dan pengemisan yang meliputi
usaha-usaha preventif, represif, rehabilitatif bertujuan agar tidak terjadi
pergelandangan dan pengemisan, serta mencegah meluasnya pengaruh akibat
pergelandangan dan pengemisan di dalam masyarakat, dan memasyarakatkan kembali
gelandangan dan pengemis menjadi anggota masyarakat yang menghayati harga diri,
serta memungkinkan pengembangan para gelandangan dan pengemis untuk memiliki
kembali kemampuan guna mencapai taraf hidup, kehidupan, dan penghidupan yang
layak sesuai dengan harkat martabat manusia.
Kebijakan pemerintah yang pro
rakyat sudah sangat lama ditunggu oleh masyarakat kelas bawah, karena tanpa
adanya kebijakan pemerintah yang legal dan formal untuk mengatasi
masalah-masalah sosial yang ada maka akan sulit untuk di atasi.
Kebijakan-kebijakan pemerintah tertuang dalam peraturan perundang-undangan yang
ada sekarang ini sesuai dengan UU No. 10 Tahun 2004 terdiri dari UUD 1945,
UU/Perpu, PP, Perpres, dan Perda.
Berdasarkan arah kebijakan yang
telah ditetapkan dan dijabarkan kedalam kebijakan umum kemudian dijabarkan lagi
ke dalam program-program pembangunan berdasarkan lingkup urusan kewenangan
satuan kerja perangkat daerah (SKPD). Program-program pembangunan pada
masing-masing lingkup urusan merupakan pedoman SKPD dalam menyusun rencana
strategis dalam kurun waktu 5 tahun kedepan.
Kebijakan umum dalam masalah sosial
juga termuat dalam rencana strategis yang dilakukan oleh pemerintah Kabupaten
Lombok Timur yaitu:
1.
Pemberdayaan fakir miskin, komunitas
adat terpencil (KAT) dan penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS)
lainnya.
2.
Pelayanan dan rehabilitasi kesejahteraan
sosial.
3.
Pembinaan anak terlantar.
4.
Pembinaan penyandang cacat dan trauma
5.
Pembinaan panti asuhan/panti jompo.
6.
Pembinaan eks penyandang penyakit sosial
(eks narapidana, PSK, narkoba dan penyakit sosial lainnya).
7.
Pemberdayaan kelembagaan kesejahteraan
sosial.
Adapun prioritas pembangunan yang
akan menjadi sasaran strategis yang telah ditetapkan oleh pemerintah daerah
dalam penanganan kemiskinan dan pengangguran melalui penciptaan lapangan kerja,
pemberdayaan masyarakat dan pendirian BUMD diantaranya:
a.
Meningkatkannya peran pemerintah daerah
serta masyarakat dan swasta dalam kewirausahaan.
b.
Menurunnya jumlah penduduk.
c.
Meningkatnya keluarga sejahtera.
d.
Pemberdayaan fakir miskin, komunitas
adat terpencil dan PMKS lainnya.
e.
Pelayanan rehabilitasi kesejahteraan
sosial.
f.
Pengembangan dan pembinaan kesejahteraan
sosial.
g.
Pemberdayaan kelembagaan kesejahteraan sosial.
Jadi
berdasarkan kebijakan-kebijakan yang diusahakan oleh pemerintah khususnya
masalah gelandangan dan pengemis Wirabuana menuturkan:
“Sesungguhnya pemerintah mau
menjalan apa saja yang menjadi tugas dari pemerintah itu sendiri, akan tetapi
kami terhalang untuk melakukannya terlebih-lebih kalau kita berteori saja
mungkin gampang akan tetapi apabila tidak dilengkapi dengan bantuan dana dari
pemerintah pusat saya rasa semuanya tidak akan berjalan seperti apa yang telah
direncanakan oleh pemerintah. Dalam menangani gepeng ini kami menemukan kendala
utama yaitu dana yang terbatas dan sulit mau didata dan ditertibkan”
(wawancara, 21 Desember 2011).
Sementara
itu Bupati HM Sukiman Azmy mengatakan, pemerintah akan terus berupaya
mengurangi angka kemiskinan di daerah ini dengan memberikan bantuan. Terkait
dengan hal ini masing-masing satuan kerja perangkat daerah (SKPD) diminta
menyusun program kegiatan sesuai skala prioritas dengan memasukkan berbagai
program yang menyentuh langsung kepentingan masyarakat.
Dengan
cara ini sedikit demi sedikit persoalan kemiskinan di Lombok Timur ini akan
bisa diatasi. “Tanpa tindakan nyata mustahil permasalahan tersebut bisa
diselesaikan dengan baik,” (Corong Rakyat,…..)
Masyarakat
yang masuk kategori miskin di Kabupaten Lombok Timur merupakan yang tertinggi
dibandingkan dengan Kabupaten/Kota lain di NTB. “Untuk menekan jumlah penduduk
miskin itu perlu segera dicarikan solusi terbaik. Jika dibiarkan maka jumlahnya
akan semakin bertambah,”.
Masyarakat
Lombok Timur terbanyak dan menggantungkan hidupnya disektor pertanian, karena
itu Bupati Sukiman terus mencari jalan keluar terbaik guna mengurangi angka
kemiskinan yang masih tinggi. Salah satu upaya yang dilakukan dengan
memperbanyak lapangan kerja, baik dibadang industri maupun perdagangan,
termasuk memberikan berbagai keterampilan kepada masyarakat.
BAB
VI
KESIMPULAN
DAN SARAN
1. KESIMPULAN
Setelah
melakukan penelitian di lapangan peneliti menemukan bahwa gepeng
di Kota Selong masih ada ditemukan di emperan toko, perumahan/perkampungan
bahkan ada juga di taman kota selong. Latar belakang mereka melakukan pekerjaan
sebagai gepeng karena dasar kemiskinan/ekonomi, pendidikan yang rendah sehingga
tidak dapat diserap oleh lapangan pekerjaan selain itu juga kurangnya
keterampilan/skill yang mereka miliki atas dasar itu pemerintah melakukan dan
mengagendakan program-program sebagai bentuk dari keterpedulian pemerintah
terhadap PMKS terutama gepeng. Peran pemerintah disini adalah melakukan
pendataan yang bisa memudahkan gepeng tersebut untuk dibina, akan tetapi
pendataan yang dilakukan mengalami kesulitan karena gepeng enggan mau didata, tidak
hanya itu pemerintah melakukan penertiban yang merupakan bentuk estapet dari
pendataan yang dilakukan akan tetapi mereka setiap kali dirazia tidak mau ikut
karena mereka malas berurusan dengan pemerintah dan tidak mau dibina langkah
selanjutnya memberikan pembinaan dan
pelatihan dipanti rehabilitasi yaitu panti sosial bina karya (PSBK) kepada para
penyandang masalah kesejahteraan sosial yang ada di Kabupaten Lombok Timur
kemudian mereka di bekali dengan keterampilan pembangunan/pertukangan untuk
laki-laki dan tata boga untuk para perempuan, hal ini diharapkan oleh
pemerintah agar pembinaan dan pelatihan yang diberikan dapat bermanfaat bagi
para penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) agar selepas dari panti
sosial bina karya (PSBK) mereka bisa mandiri dan tidak meminta-minta dan
menggelandang lagi.
2.
SARAN-SARAN
Kepada
pemerintah daerah Lombok Timur yang lebih penting dalam peran pemerintah daerah
dalam penanganan gelandangan dan pengemis itu sendiri harus bersungguh-sungguh
dan meningkatkan kinerja dalam memberikan pembinaan dan pelatihan bagi para
gepeng sehingga memiliki keterampilan/skill yang bisa mereka kembangkan sebagai
modal mereka untuk mandiri sehingga dapat membantu unutuk memenuhi kebutuhan perekonomian
mereka dan tidak menggepeng lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Hartomo dan Aziz Aricun (1990), Ilmu Sosial Dasar, Jakarta: Bumi
Aksara.
Moleong, Lexy J (2006), Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya
Offset.
Mudradjad, Kucoro (2006), Ekonomi Pembangunan Teori Edisi 4
(Masalah dan Kebijakan), Yogyakarta: Unit Penerbit dan Percetakan (UPP) STIM
YKPN
Muhammad, Abdulkadir (2005), Ilmu Sosial Budaya Dasar, Bandung: Citra Aditya Bakti.
Munir, Muhammad (2009), himpunan peraturan daerah Lombok Timur tahun 2009 (7 peraturan daerah)
Riyanto, Rabbah (2005), Kekuasaan Untuk Rakyat, Mataram: Mahani
Persada.
Salim , Emil (1998),
Perencanaan Pembangunan dan Pemerataan, Jakarta: Inti Indayu.
Sangadji, Etta Mamang dan Sopiah (2010), Metodologi Penelitian Pendekatan Praktis Dalam Penelitian,
Yogyakarta: Andi
Soekanto, Soerdjono (1990), Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta:
Rajawali.
Sugiyono (2009),
Metode Penelitian Pendidikan (Pendekata Kuantitatif, Kualitatif dan R & D), Bandung:
Alfabeta.
Suharto, Edi (2005), Analisis Kebijakan Publik, Bandung:
Alfabeta.
Surjani, Muhammad (1986), Lingkungan: Sumber Daya Alam dan Kependudukan Dalam Pembangunan, Jakarta: Bumi Aksara.
Usman, Husaini dan Akbar, Purnomo Setiady (2009), Metodologi Penelitian Sosial, Jakarta:
Bumi Aksara.
Usman, Sunyoto (2004), Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Wangsa, Mara Satria (2007), Membangun Manusia Indonesia, Jakarta: Intisari Mediatama.