Search This Blog

Sunday, December 2, 2012

PERAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENANGANAN GELANDANGAN DAN PENGEMIS (STUDI KEBIJAKAN PEMERINTAH DAERAH DI KOTA SELONG)


                                                             BAB I
                                                   PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) salah satu negara dunia yang dikenal sebagai bangsa yang memiliki kekayaan alam melimpah, namun kehidupan masyarakatnya sampai saat ini masih dalam kondisi terpuruk. Meskipun perjuangan bangsa Indonesia sejak awal pendiriannya bertujuan untuk terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (sila ke kelima, Pancasila).
Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi atau hukum dasar negara memuat hal-hal pokok dalam kehidupan berbangsa dan bernegara pada kategori umum. Artinya pengaturan hal-hal yang disepakati para founding father sebagai suatu urgent dan vital untuk diatasi. UUD 1945 sebagai hukum dasar negara menempatkan permasalahan sosial menjadi bagian hal pokok kebangsaan dan kenegaraan Indonesia.
Hal ini dapat dilihat dari ketentuan Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 34 sebagai berikut: (a) Pasal 27 ayat (2) "Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan". (b) Pasal 34: "Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”.
Dua ketentuan pasal ini dalam penjelasan disebutkan telah jelas dan telah cukup jelas. Walaupun demikian dapat dipahami bahwa negara bertanggungjawab atas penanganan permasalahan sosial dan kesejahteraan dalam masyarakat. Dari paradigma sosial persoalan gelandangan dan pengemis adalah salah satu bagian dari permasalahan sosial dikenal dengan istilah penyandang cacat sosial.
Ketentuan Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 34 amandemen pertama sampai amandeman keempat masing-masing tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002 semakin dilengkapi dengan beberapa norma sebagai berikut: (a) Ayat (2) Pasal 28 B: "Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi" (b) Pasal 28 H: (1) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. (2) Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. (3) Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia bermartabat.
Penjelasan lebih teknis diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 31 Tahun 1980 tentang penanganan gelandang dan pengemis. Dimana yang menjadi sasaran pokok dalam penanggulangan gepeng adalah perorangan maupun kelompok masyarakat yang diperkirakan menjadi sumber timbulnya Gepeng, selain keseluruhan Gepeng itu sendiri.
Norma-norma hasil amandemen kedua dan keempat yang disebut di atas memberi kepastian serta jaminan kepada setiap warga negara Indonesia mengenai tidak satu orang pun warga negara yang dapat dibiarkan terlantar kehidupannya dan diperlakukan secara berbeda-beda. Dan setiap warga negara berhak atas jaminan sosial sehingga dapat berkembang sebagai manusia bermartabat dan untuk itu negara wajib membangun sistem jaminan sosial, serta Negara memberdayakan orang atau masyarakat lemah dan  tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.
Namun faktanya, sampai saat ini kesejahretaan sosial atau masyarakat ini masih sekedar konsep yang sulit terwujud, di mana masih banyak ditemukan anak terlantar, gelandangan, pengemis, terutama di kota-kota seakan sebagai penghias jalan, pertokoan dll, termasuk di provinsi NTB khususnya di Kabupaten Lombok Timur.
Realita kelompok, dan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial membutuhkan perhatian, penanganan, pengurusan, serta penanggulangan yang khusus, sehingga mereka dapat memperoleh atau menikmati hak untuk bertahan hidup yang layak, tidak diperlakukan diskriminatif, jaminan sosial, dan pemberdayaan.
Gelandangan dan pengemis secara normal adalah suatu kehidupan manusia yang seutuhnya termasuk masyarakat tidak berdaya, lemah, terasing, kurang mendapat tempat dalam tata pergaulan masyarakat kelompok berpenyakit sosial. Sebagian besar penentuan keputusan para gepeng tersebut untuk bekerja sebagai gepeng berdalih karena faktor ekonomi yang berimpilakasi terhadap standar kehidupan mereka, dan aktivitas menggepeng dilakukan sebagai suatu pekerjaan yang mudah dan gampang serta memiliki pengahasilan yang mampu menopang kebutuhan hidup mereka. Selain itu, aktivitas menggepeng dilakukan tidak lain karena minimnya keterampilan serta pendidikan yang dimiliki.
Gepeng di yang ada di kabupaten Lombok Timur, terlebih di kota Selong  masih banyak ditemukan di jalanan. Ini tentunya menjadi sebuah ironi dari fakta yang belum mampu diupayakan pemerintah untuk menanganinya secara maksimal. Padahal pemerintah sekarang ini memiliki visi dan misi yang begitu jelas, “adil dalam kesejahteraan dan sejahtera dalam keadilan”.
Upaya pemerintah untuk melakukan penanganan Gepeng, jika dilihat dengan keadaan sekarang ini masih jauh dari konsep dan visi misi pemerintah. Grand strategy yang dimiliki pemerintah kabupaten Lombok Timur saat ini sangat jelas dalam visi misi bupati tersebut. Namun demikian persoalan ini masih banyak ditemukan Gepeng, masayarakat masih banyak yang  jeleng (fakir-miskin), hal ini akibat tidak tersedianya lapangan pekerjaan, masyarakat pun tidak ada skil dan lain sebagainya sehingga mengakibatkan kemiskinan yang sistemik dan menjadi turun temurun.
Menurut data Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kabupaten Lombok Timur, penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan sekitar 21,55% yang terdata tahun ini pada tingkat ekonomi yang rendah atau dikategorikan kurang mampu untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan tingkat kemiskinan yang di alami kabupaten Lombok Timur jauh di atas rata-rata tingkat kemiskinan provinsi NTB sebesar 16,8% dalam periode yang sama.
Pemerintah mengkelaim akselerasi penurunan kemiskinan provinsi NTB pada tahun 2011 menempati ranking ke 8 secara nasional dengan penurunan 1,82 point dari 21,55 persen menjadi 19,73 persen atau tersisa 894.770 jiwa dari jumlah penduduk miskin NTB tahun 2010. Sementara prosentase rata-rata penduduk miskin di kabupaten Lombok Timur mencapai 21,55 persen, artinya jauh di atas rata-rata tingkat kemiskinan provinsi NTB sebesar 16,8% dalam periode yang sama. (Munir, 2009: 95)
Hal ini membuktikan bahwa kondisi rata-rata masyarakat Lombok Timur masih dalam tingkat ekonomi yang rendah dan sumberdaya manusia juga masih tergolong rendah. Hal ini terlihat dari prosentase kemiskinan dan rendahnya Indek Pembangunan Manusia (IPM) kabupaten Lombok Timur mencapai 59, 60. IPM kabupaten Lombok Timur berada pada urutan kedua dari bawah (peringkat 7) dari 9 (Sembilan) kabupaten/kota di provinsi NTB.
Fakta ini menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan dan rendahnya sumberdaya manusia dikabupaten Lombok Timur menjadi faktor bagi para gelandangan dan pengemis untuk melakukan aktifitasnya sebagai gepeng yang akan berimplikasi terhadap kehidupannya. Maraknya aktifitas menggepeng di Kabupaten Lombok Timur terutama di Kota Selong seharusnya menjadi perhatian bagi para pemerintah daerah kita dalam mengambil kebijakan, sebagaimana mana yang telah tertera dalam visi dan misi pemerintah kita pada masa ini, akan tetapi hal ini belum terwujud dalam penanganan PMKS (Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial) terutama para gepeng yang ada di kabupaten Lombok Timur. Karena bagaimanapun Negara dan pemerintah memiliki tanggung jawab terkait dengan persoalan hidup masyarakat sebagaimana yang termaktub dalam undang-undang dasar 1945.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka peneliti mengangkat tema atau judul peran pemerintah daerah dalam penanganan gelandangan dan pengemis (studi kebijakan di kota Selong Lombok Timur).

B.     FOKUS PENELITIAN
Untuk lebih memudahkan penelitian maka ditentukan fokus penelitiannya adalah peran pemerintah kabupaten Lombok Timur dalam penanganan gelandang dan  pengemis di Kota Selong.
C.    RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalahnya adalah:
1.      Bagaimana peran pemerintah daerah dalam penanganan gepeng di Kota Selong ?

D.    TUJUAN PENELITIAN
Berkenaan dengan masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini, peneliti dapat menentukan tujuan penelitian sebagai berikut :
1.    Untuk mengetahui peran pemerintah daerah dalam penanganan gelandangan dan pengemis di Kota Selong.

E.     MANFAAT PENELITIAN
Hasil penelitian ini diharapkan sebagai bahan pertimbangan bagi peneliti dan dapat memberikan informasi yang jelas mengenai peran dan kebijakan pemerintah daerah dalam penanganan gelandangan dan pengemis di kota Selong. Manfaat penelitian ini terbagi atas manfaat teoritis dan manfaat praktis:
a.    Manfaat teoritis
1.        Peneliti ini diharapkan akan dapat memberi pemahaman, pengetahuan, dan gambaran utuh tentang Gepeng.
2.        Informasi yang dapat diungkapkan dari hasil penelitian ini dapat dijadikan pedoman bagi semua orang terutama yang konsen dalam hal Gepeng.
3.        Dengan adanya penelitian akan menambah khasanah ilmu pengetahuan bagi penulis khususnya dan institusi pendidikan pada umumnya tentang Gepeng.
b.    Manfaat Praktis
1.        Sebagai masukan kepada pihak pemerintah untuk tidak melupakan bahwa Gepeng harus diatasi.
2.        Sebagai sumbangsih pemikiran kepada masyarakat dll.

BAB II
LANDASAN TEORI

A.    KEMISKINAN
1.      Pengertian Kemiskinan
Salim (1979) mengatakan Salah satu “wabah penyakit” yang serius yang melanda Negara-negara sedang berkembang dewasa ini yaitu: kemiskinan beserta saudara kembarnya yaitu keterbelakangan. Memang kemiskinan dan keterbelakangan adalah suatu penyakit, karena pada kenyataannya kedua hal itu melemahkan fisik mental manusia yang tentunya juga berdampak negatif terhadap lingkungan. Sudah barang tentu wabah kemiskinan dan keterbelakangan itu harus diberantas. Dalam hubungan ini amatlah relevan bila dikatakan bahwa “pembangunan di Negara berkembang bukan hanya meningkatkan pendapatan nasional, tetapi menambah produksi barang-barang dan jasa-jasa, tetapi pembangunan mengandung pula unsur membangun manusia jasmaniah, rohaniah dan mengubah nasib manusia untuk keluar dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan”.
Apa yang dikatakan ini lebih-lebih lagi berlaku bagi bangsa Indonesia, karena sebagai Negara pancasila, yang bertekad mewujudkan masyarakat adil dan makmur, kemiskinan sesungguhnya adalah suatu anakronisme, sesuatu yang tidak pada tempatnya lagi. Karena itu berbagai daya upaya telah dijalankan pemerintah untuk memerangi wabah ini, akan tetapi hasilnya tidak seperti yang diharapkan, kemiskinan dan keterbelakangan akan menimbulkan masalah-masalah sosial seperti; perdagangan manusia, pengangguran, perilaku menyimpang, penelantaran, eksploitasi terhadap anak, pengemis dan banyak hal lagi yang kini muncul mewarnai fenomena kehidupan masyarakat modern. (Soerjani, dkk, 1986: 135).
Secara umum tantangan utama yang dihadapi bangsa ini adalah tingginya tingkat kemiskinan dan pengangguran. Penanggulangan dan pengurangan kemiskinan tidak saja mencakup pemberian bantuan dan dukungan agar masyarakat miskin tidak lebih terpuruk akan tetapi lebih kepada membangun manusia Indonesia yang berkualitas sehingga bisa menopang kehidupan dan keluar dari lingkaran kemiskinan. (Wangsa, 2007: 163)
Mubyarto (1993: 21) mendefinisikan kemiskinan sebagai situasi serba kekurangan yang terjadi pada seseorang/sebuah keluarga bukan karena dikehendaki melainkan tidak dapat dihindari dengan kekuatan yang ada padanya.
Kemiskinan ditandai oleh sikap dan tingkahlaku yang menerima keadaan yang seakan-akan tidak dapat diubah yang tercantum dalam lemahnya kemajuan untuk maju, rendahnya kualitas sumberdaya manusia, terbatasnya modal yang dimiliki, rendahnya produktivitas, lemahnya nilai tukar hasil produksi, rendahnya pendapatan dan terbatasnya kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan.
Mubyarto (1993: 21) mengatakan orang miskin tidak semuanya malas dan tidak mau bekerja. Karena dalam kenyataannya kebanyakan dari mereka sudah berusaha namun gagal sehingga kemiskinan bukanlah mereka inginkan, hal ini menunjukkan bahwa dalam diri kemiskinan masih ada sikap positif yang     bisa merubah nasibnya untuk lebih baik.
Kemiskinan adalah apabila tingkat hidup seseorang tidak memungkinkan untuk bisa memenuhi keperluan-keperluan yang mendasar seperti: kesehatan, baik fisik maupun mental terganggu karenanya dari keperluan dasar itu antara lain: sandang, pangan, kesehatan, pendidikan, yang paling pokok dan yang memerlukan upaya untuk memperolehnya adalah pangan.
Bagi kita pada saat sekarang ini kemiskinan yang sangat sering dihadapi mengenai masalah kurangnya kebutuhan pangan, masalah ini yang paling mendesak dan paling rawan bagi masyarakat.
Menurut Emil Salim (1993: 13) kemiskinan adalah keadaan penduduk yang meliputi hal-hal yang tidak dimiliki:
a.       Mutu tenaga yang tinggi
b.      Jumlah modal yang memadai
c.       Luas lahan sumber tenaga yang cukup
d.      keahlian dan keterampilan yang tinggi
e.       kondisi  fisik dan rohaniah yang baik
f.       lingkungan hidup yang memungkinkan perubahan dan kemajuan
Kemiskinan diartikan sebagai suatu keadaan di mana seseorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf kehidupan kelompok dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga mental maupun fisiknya dalam kelompok tersebut. (Soekanto, 1990: 406)
Kemiskina merupakan masalah utama pembangunan yang bersifat kompleks dan multidimensional. Persoalan kemiskinan bukan hanya berdimensi ekonomi, tetapi sosial, budaya, politik, bahkan moral.
Secara umum, kondisi kemiskinan ditandai kerentanan, ketidakberdayaan, keterisolasian, dan ketidakmampuan mendapatkan akses pelayanan serta menyampaikan aspirasi dan kebutuhannya. (Wangsa, 2007: 165)
Definisi kemiskinan telah banyak dikemukakan oleh pakar dan lembaga yang terkait dengan permasalahan kemiskinan. Specker (1993) mengatakan bahwa kemiskinan mencakup
(1)   kekurangan fasilitas fisik bagi kehidupan yang normal,
(2)   gangguan dan tingginya risiko kesehatan,
(3)   risiko keamanan dan kerawanan kehidupan sosial ekonomi dan lingkungannya,
(4)   kekurangan pendapatan yang mengakibatkan tidak bisa hidup layak, dan
(5)   kekurangan dalam kehidupan sosial yang dapat ditunjukkan oleh ketersisihan sosial, ketersisihan dalam proses politik, dan kualitas pendidik yang rendah.
Konferensi Dunia untuk Pembangunan Sosial telah mendefinisikan kemiskinan sebagai berikut: Kemiskinan memiliki wujud yang majemuk, termasuk rendahnya tingkat pendapatan dan sumber daya produktif yang menjamin kehidupan berkesinambungan, kelaparan dan kekurangan gizi, rendahnya tingkat kesehatan, keterbatasan dan kurangnya akses kepada pendidikan dan layanan-layanan pokok lainnya, kondisi tak wajar dan kematian akibat penyakit yang terus meningkat, kehidupan bergelandang dan tempat tinggal yang tidak memadai, lingkungan yang tidak aman, serta diskriminasi dan keterasingan sosial.    
 Kemiskinan juga dicirikan oleh rendahnya tingkat partisipasi dalam proses pengambilan keputusan dalam kehidupan sipil, sosial dan budaya. Maxwell (2007) menggunakan istilah kemiskinan untuk menggambarkan keterbatasan pendapatan dan konsumsi, keterbelakangan derajat dan martabat manusia, ketersingkiran sosial, keadaan yang menderita karena sakit, kurangnya kemampuan dan ketidakberfungsian fisik untuk bekerja, kerentanan (dalam menghadapi perubahan politik dan ekonomi), tiadanya keberlanjutan sumber kehidupan, tidak terpenuhinya kebutuhan dasar, dan adanya perampasan relatif (relative deprivation). Poli (1993) menggambarkan kemiskinan sebagai keadaan; ketidakterjaminan pendapatan, kurangnya kualitas kebutuhan dasar, rendahnya kualitas perumahan dan aset-aset produktif; ketidakmampuan memelihara kesehatan yang baik, ketergantungan dan ketiadaan bantuan, adanya perilaku antisosial (anti-social behavior), kurangnya dukungan jaringan untuk mendapatkan kehidupan yang baik, kurangnya infrastruktur dan keterpencilan, serta ketidakmampuan dan keterpisahan.    
 Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPENAS) dalam dokumen Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan juga mendefinisikan masalah kemiskinan bukan hanya diukur dari pendapatan, tetapi juga masalah kerentanan dan kerawanan orang atau sekelompok orang, baik laki-laki maupun perempuan untuk menjadi miskin. Masalah kemiskinan juga menyangkut tidak terpenuhinya hak-hak dasar masyarakat miskin untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan bermartabat. Pemecahan masalah kemiskinan perlu didasarkan pada pemahaman suara masyarakat miskin, dan adanya penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak mereka, yaitu hak sosial, budaya, ekonomi dan politik. Oleh karena itu, strategi dan kebijakan yang dirumuskan dalam strategi nasional pengentasan kemiskinan didasarkan atas pendekatan berbasis hak (Bapenas, 2005). 
Menurut Sallatang (1986) bahwa kemiskinan adalah ketidakcukupan penerimaan pendapatan dan pemilikan kekayaan materi, tanpa mengabaikan standar atau ukuran-ukuran fisiologi, psikologi dan sosial. Sementara itu, Esmara (1986) mengartikan kemiskinan ekonomi sebagai keterbatasan sumber-sumber ekonomi untuk mempertahankan kehidupan yang layak. Fenomena kemiskinan umumnya dikaitkan dengan kekurangan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang layak. Menurut Basri (1995) bahwa kemiskinan pada dasarnya mengacu pada keadaan serba kekurangan dalam pemenuhan sejumlah kebutuhan, seperti sandang, pangan, papan, pekerjaan, pendidikan, pengetahuan, dan lain sebagainya. Sementara itu, menurut Badan Pusat Statistik (2000), kemiskinan didefinisikan sebagai pola konsumsi yang setara dengan beras 320 kg/kapita/tahun di pedesaan dan 480 kg/kapita/tahun di daerah perkotaan. (http//www.kemiskinan sosial)
  Secara konseptual kemiskinan dapat dipandang dari berbagai segi. Pertama-tama dari segi subsistem, dimana penghasilan dan jerih payah seseorang hanya pas-pasan untuk dimakan saja, atau bahkan tidak cukup pula untuk itu. Segi ketidak merataan menekankan pada posisi relatif dari setiap golongan menurut penghasilannya terhadap posisi golongan yang lain, sedangkan dari segi eksternal mencerminkan konsekwensi sosial dari kemiskinan terhadap masyarakat di sekelilingnya yaitu bagaimana kemiskinan yang berlarut-larut mengakibatkan dampak sosial yang tidak ada habisnya. (Soerjani dkk, 1986: 135)
Adapun kemiskinan itu dibagi menjadi empat kategori kemiskinan yaitu kemiskinan absolute, kemiskinan relatif ”menurut perbandingan kelas-kelas pendapatan”, kemiskinan subyektif (kultural) yaitu menurut perasaan perorang, dan kemiskinan struktural.
Pertama, kemiskinan absolut adalah keadaan miskin yang diakibatkan oleh ketidak mampuan seseorang atau sekelompok orang dalam memenuhi kebutuhan pokoknya, seperti untuk makan, pakaian, pendidikan, kesehatan, trasnportasi, dll. Penentuan kemiskinan absolute ini biasanya diukur melalui ‘batas kemiskinan’ atau ‘garis kemiskinan’ (proverly line).
Kedua, kemiskinan relatif adalah keadaan miskin yang dialami individu atau kelompok dibandingkan dengan kondisi umum suatu masyarakat. Jika batas kemiskinan misalnya Rp. 100.000 per kapita per bulan, maka seseorang yang memiliki pendapatan Rp. 125.000 per bulan secara absolute tidak miskin, tetapi jika pendapa rata-rata masyarakat setempat adalah Rp. 200.000 per orang per bulan, maka secara relatif orang tersebut termasuk orang miskin.
Ketiga, kemiskinan kultural mengacu pada sikap, gaya hidup, nilai, orientasi sosial budaya seseorang atau masyarakat yang tidak sejalan dengan etos kemajuan (masyarakat modern). Sikap malas, tidak memiliki kebutuhan berprestasi (needs for achievement), fatalis, berorientasi ke masa lalu, tidak memiliki jiwa wirausaha adalah beberapa karakteristik yang umumnya dianggap sebagai ciri-ciri kemiskinan kultural.
Keempat, kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang diakibatkan oleh ketidakberesan atau ketidakadilan struktur, baik struktur politik, sosial, maupun ekonomi yang tidak memungkinkan seseorang atau sekelompok orang menjangkau sumber-sumber penghidupan yang sebenarnya tersedia bagi mereka. Proses dan praktik monopoli, oligopoly dalam bidang ekonomi, misalnya, melahirkan mata rantai kemiskinan yang sulit dipatahkan. Sekuat apapun motivasi dan kerja keras seseorang, dalam kondisi struktural demkian, tidak akan mampu melepaskan diri dari belenggu kemiskinannya, karena asset yang ada serta akses terhadap sumber-sumber telah sedemikian rupa dikuasai oleh segolongan orang tertentu. Para petani yang tidak memiliki tanah sendiri atau hanya sedikit tanah, para nelayan yang tidak mempunyai perahu, para pekerja yang tidak terampil (unskilled labour), termasuk ke dalam mereka yang berada dalam kemiskinan struktural.
Bagi kita yang paling relevan adalah yang pertama ini karena di Negara kita kemiskinan absolute merupakan masalah yang paling aktual, paling rawan dan karenanya paling mendesak.
Kemiskinan absolute ialah keadaan miskin yang diakibatkan oleh ketidakmampuan seseorang atau kelompok orang dalam memenuhi kebutuhan pokoknya, seperti untuk makan, pakaian, pedidikan, kesehatan, transportasi, dll.  Apabila tingkat hidup seseorang tidak memungkinkan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya yang mendasar, sehingga kesehatan fisik maupun mentalnya terganggu. Dari semua keperluan dasar itu (antara lain pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan), yang paling pokok dan memerlukan upaya untuk memperolehnya adalah pangan.
         (Suharto, 2005: 17-18).
2.        Penyebab  Kemiskinan
Sharp, (1996:173-191) mencoba mengidentifikasi penyebab kemiskinan dipandang dari sisi ekonomi. Pertama secara mikro, kemiskinan muncul karena adanya ketidaksamaan pola kepemilikan sumber daya yang menimbulkan distribusi pendapatan yang timpang. Penduduk miskin hanya memiliki sumber daya dalam jumlah terbatas dan kualitasnya rendah. Kedua kemiskinan muncul akibat perbedaan dalam kualitas sumber daya manusia yang rendah berarti produktivitasnya rendah, yang pada gilirannya upahnya rendah. Rendahnya kualitas sumber daya manusia ini karena rendahnya pendidikan, nasib yang kurang beruntung, adanya diskriminasi atau karena keturunan. Ketiga kemiskinan muncul akibat perbedaan akses dalam modal. (Mudrajad, 2006: 225).
Adapun sebab-sebab kemiskinan yang pokok bersumber dari empat hal yaitu :
1)   Mentalitas si miskin itu sendiri
2)   Minimnya keterampilan yang dimiliki
3)   Ketidak mampuannya memanfaatkan kesempatan-kesemptan yang disediakan, dan
4)   Peningkatan jumlah penduduk yang relatif berlebihan.
Keempat hal ini dalam kenyataannya kait mengait dan memiliki hubungan yang sangat erat apabila orang sudah terperangkap dalam jurang kemiskinan dan tidak lagi melihat kemungkinan untuk keluar dari dalam jurang itu maka kebanyakan orang cenderung mengambil sikap yang seluruhnya irasional. (Soerjani, dkk, 1987: 141).
Adapun penyebab timbulnya kemiskinan menurut Drs. H. Hartomo dan Dra. Arnicun Aziz (2004:329-331) yaitu :
1). Pendidikan yang terlampau rendah.
2). Malas bekerja.
3). Keterbatasan sumber daya alam.
4). Terbatasnya lapangan kerja.
5). Keterbatasan modal.
     6). Beban keluarga.
Menurut Tulus, (2009: 127) faktor-faktor penyebab kemiskinan di Indonesia yaitu:
1. Tingkat pendidikan yang rendah
2. Produktivitas tenaga kerja rendah
3. Tingkat upah yang rendah
4. Distribusi pendapatan yang timpang
5. Kesempatan kerja yang kurang
6. Kualitas sumberdaya alam masih rendah
7. Penggunaan teknologi masih kurang
8. Etos kerja dan motivasi pekerja yang rendah
9. Kultur/budaya (tradisi)
10. Politik yang belum stabil
Kesemua faktor tersebut di atas saling mempengaruhi, dan sulit memasrikan penyebab kemiskinan yang paling utama atau faktor mana yang berpengaruh langsung maupun tidak langsung. Kesemua faktor tersebut merupakan viciois circle (Lingkaran setan) dalam masalah timbulnya kemiskinan (http://id.shvoong.com/faktor-faktor-penyebab-kemiskinan).



Adapun Kemiskinan itu sendiri banyak dihubungkan dengan:
1.      penyebab individual, atau patologis, yang melihat kemiskinan sebagai akibat dari perilaku, pilihan, atau kemampuan dari si miskin;
2.      penyebab keluarga, yang menghubungkan kemiskinan dengan pendidikan keluarga;
3.      penyebab sub-budaya (subcultural), yang menghubungkan kemiskinan dengan kehidupan sehari-hari, dipelajari atau dijalankan dalam lingkungan sekitar;
4.      penyebab agensi, yang melihat kemiskinan sebagai akibat dari aksi orang lain, termasuk perang, pemerintah, dan ekonomi;
5.      penyebab struktural, yang memberikan alasan bahwa kemiskinan merupakan hasil dari struktur sosial.
Meskipun diterima luas bahwa kemiskinan dan pengangguran adalah sebagai akibat dari kemalasan, namun di Amerika Serikat (negara terkaya per kapita di dunia) misalnya memiliki jutaan masyarakat yang diistilahkan sebagai pekerja miskin; yaitu, orang yang tidak sejahtera atau rencana bantuan publik, namun masih gagal melewati atas garis kemiskinan. (http://id.wikipedia.org/wiki/Kemiskinan).
3.        Dampak dan upaya penanggulangan kemiskinan
Kemiskinan telah menimbulkan dampak negatif beragam dalam kehidupan masyarakat yang saling terkait dan saling mempengaruhi. Dampak negatif kemiskinan antara lain secara sosial-ekonomi menjadi beban masyarakat, rendahnya kualitas dan produktivitas masyarakat, rendahnya partisipasi masyarakat, menurunnya ketertiban umum dan ketentraman masyarakat, menurunnya kepercayaan mansyarakat terhadap pelayanan birokrasi, dan kemungkinan merosotnya mutu generasi yang akan datang (Wangsa, 2007: 165).
Adapun dampak kemiskinan terhadap orang miskin sendiri dan terhadap lingkungannya, baik lingkungan sosial maupun lingkungan alam dengan sendirinya sudah jelas negatif.
Dampak kemiskinan terhadap lingkungan sosial tampak mengalirnya penduduk ke kota-kota tanpa bekal pengetahuan dan materi. Akibatnya antara lain adalah banyaknya tukang becak, pemungut punting, gelandangan, pengemis dan sebagainya yang menghuni kampung-kampung liar yang jorok di gubuk-gubuk reot yang tak pantas di huni manusia.
      Keinginan menanggulangi kemiskinan sebenernya bukanlah hal baru. Pemerintah telah merancangkan dua pokok kebijaksanaan pembangunan yaitu: mengurangi jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan dan melaksakan delapan jalur pemerataan pembagian pendapatan, penyebaran pembangunan diseluruh daerah, kesempatan memperoleh pendidikan, kesehatan, kesempatan kerja, berusaha, berpartisipasi dalam kegiatan pembangunan dan kesempatan memperoleh keadilan. (Usman, 2004:130)
  Kaitannya dengan mengurangi jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan, Lombok Timur hingga saat ini masih mengusung beban yang cukup berat. Dengan jumlah penduduk 1,2 juta jiwa, Lombok Timur merupakan kabupaten dengan penduduk terpadat di NTB. Kependudukan  juga merupakan salah satu penyebab kemiskinan yang ada di kabupaten Lombok Timur. kependudukan tersebut menjadi persoalan yang tidak ringan  jika melihat lama sekolah yang mencapai 6,21 tahun. Itu artinya, penduduk Lombok Timur rata-rata hanya tamat SD. Fakta ini berimplikasi pada persoalan pengetahuan dan pemahaman dalam berbagai sektor kehidupan. Data kemiskinan yang ada di Lombok Timur mencapai 21 persen dan termasuk dalam masyarakat pra sejahtera. (Rabbah, 2005: 3-5).
Rendahnya pertumbuhan ekonomi daerah untuk menciptakan lapangan kerja menjadi terbatas. Dari jumlah angkatan kerja yang ada yaitu: 497.130 orang yang mampu terserap pada lapangan kerja yang tersedia hanya 317.467 orang (63,88 %), sedangkan selebihnya sebanyak 179.663 orang (36,14%) tegolong sebagai pengangguran terbuka. (Munir, 2009: 126)
Disamping itu juga rendahnya pertumbuhan ekonomi ini mengakibatkan jumlah penduduk miskin di kabupaten Lombok Timur masih sangat banyak yaitu 138.322 KK atau 691.610 oarang.
Dalam keadaan serba terbatas di lingkungan Negara yang sedang berkembang, maka pemerintah menduduki posisi yang paling mampu mengusahakan perubahan ini. Operasi-operasi penanggulangan dari kemiskinan, harus menyakup membangkitkan motivasi untuk melepaskan diri dari kemiskinan, secara lebih mengefektifkan program-program yang telah ada. (Emil Salim, 1979: 60). Upaya pemecahan masalah kemiskinan yaitu mengadakan pelatihan pendidikan keterampilan, berwirausaha, dan pemasyarakatan program KB (Hartomo dan Arnicun, 2004:331-332).

B.   KONSEP GELANDANGAN DAN PENGEMIS
1.      Pengertian Gelandangan dan Pengemis
Gelandangan adalah orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai dengan norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat, serta tidak mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap di wilayah tertentu dan hidup mengembara di tempat umum. Sedangkan yang dimaksud dengan pengemis adalah orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan meminta-minta di muka umum dengan pelbagai cara dan alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang lain. (Simora, 2009)
Pengemis menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1980 Tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis adalah orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan meminta-minta di muka umum dengan berbagai cara dan alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang lain. Permasalahan pengemis, gepeng, dan anak jalanan sebenarnya hanyalah turunan dari permasalahan kemiskinan. Selama persoalan kemiskinan belum teratasi jumlah pengemis, gepeng, dan anak jalanan tidak akan pernah berkurang malah jumlahnya akan semakin bertambah. (http//www.d-forin.com)
Dalam Peraturan Pemerintah nomor 31 Tahun 1980 (pasal 2), kebijakan dibidang penanggulangan gepeng merupakan kebijakan yang telah ditetapkan oleh menteri berdasarkan pada kebijakan yang telah digariskan oleh pemerintah, dalam menetapkan kebijakan tersebut Menteri dibantu oleh sebuah badan koordinasi yang susunan, tugas dan wewenangnya diatur dengan keputusan presiden. Penertiban gelandangan dan pengemis telah diatur dalam Kepres Nomor 40 tahun 1983 Tentang Koordinasi Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis, dalam keputusan bersama antara Menteri Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan dan Menteri Sosial dengan nomor SKB. 102/MEN/1983 tentang penyelenggaraan Transmigrasi yang dikaitkan dengan pengentasan penyandang masalah kesejahteraan sosial.
Masalah kemiskinan di Indonesia berdampak negatif terhadap meningkatnya arus urbanisasi dari daerah pedesaan kekota-kota besar, sehingga terjadi kepadatan penduduk dan daerah-daerah kumuh yang menjadi pemukin para urban tersebut, sulit dan terbatasnya pekerjaan yang tersedia serta terbatasnya pengetahuan, keterampilan dan pendidikan menyebabkan mereka banyak mencari nafkah untuk mempertahankan hidup dengan terpaksa menjadi gelandangan dan pengemis. Kementerian Sosial terus berupaya untuk mengurangi tingkat populasi Gepeng dan anak jalanan, tahun 2011 pemerintah berusaha untuk lebih mengedepankan upaya penanggulangan kedua pokok permasalahan tersebut, di Indonesia terdapat sekitar 30 juta orang penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS), yang terbagi dalam 22 kelompok, salah satunya adalah anak jalanan, telantar, gelandangan, dan pengemis (gepeng) yang jumlahnya sekitar 3 juta jiwa.
Data Pusdatin Kementerian Sosial tahun 2009 menunjukan jumlah pengemis sebanyak 31.1793 jiwa, sementara jumlah gelandangan tahun 2009 sebanyak 54.028 jiwa, keterkaitan ini sangat jelas bahwa faktor kemiskinanlah yang menyebabkan mereka hidup seperti itu. Untuk mengurangi penduduk miskin yang berjumlah 34 juta, tahun 2010 disediakan anggaran Rp 1,8 triliun. Hal ini menunjukkan bahwa alasan ekonomi keluarga merupakan pendorong utama semakin banyaknya gelandangan, pengemis dan anak jalanan yang menjadi peminta-minta, dan pada akhirnya hidup berkeliaran dijalan-jalan dan tempat umum. Maraknya gelandangan dan pengemis disuatu wilayah dapat menimbulkan kerawanan sosial, mengganggu ketertiban umum, ketenangan masyarakat dan kebersihan serta keindahan kota. Gelandangan bisa dikategorikan sebagai orang yang tunawisma atau tidak punya tempat tinggal tetap sehingga kehidupannya berpindah-pindah hanya untuk tidur dan sebagainya. (Bambang, 2009)
2.  Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS)
Penyandang  Masalah  Kesejahteraan  Sosial  (PMKS)  adalah seseorang, keluarga, atau kelompok masyarakat yang karena suatu hambatan, kesulitan atau gangguan, tidak dapat melaksanakan fungsi sosialnya, sehingga tidak dapat terpenuhi kebutuhan hidupnya (jasmani, rohani dan sosial) secara memadai dan wajar.
Adapun kelompok PMKS sebagai berikut : 1) anak terlantar, 2)  anak nakal, 3) anak jalanan, 4) anak cacat, 5)  penyandang cacat, 6) tuna susila, 7)  pengemis, 8) gelandangan,  9) keluarga fakir miskin, 10) keluarga berumah tidak layak huni, 11)  masyarakat adat terpencil

C.  KEBIJAKAN DAN PERAN PEMERINTAH DALAM PENANGANAN GEPENG
1.      Kebijakan dan kesejahteraan  
Kebijakan adalah prinsip atau cara bertindak yang dipilih untuk mengarahkan pengambilan keputusan. Menurut Ealau dan Prewitt (1973), kebijakan adalah sebuah ketetepan yang berlaku yang dicirikan oleh perilaku yang konsisten dan berulang, baik dari yang membuatnya maupun yang menaatinya (yang terkena kebijakan itu). Titmuss (1974) mendefinisikan kebijakan sebagai prinsip-prinsip yang mengatur tindakan yang diarahkan kepada tujuan-tujuan tertentu. Kebijakan menurut Titmuss, senantiasa berorientasi kepada masalah (problem-oriented) dan berorientasi kepada tindakan (action-oriented). Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa kebijakan adalah suatu ketetapan yang memuat prinsip-prinsip untuk mengarahkan cara-cara bertindak yang dibuat secara terencana dan konsisten dalam mencapai tujuan tertentu.
Conyers (1992) mengartikan kata sosial berkaitan dengan hak azasi manusia baik sebagai individu maupun anggota masyarakat. Misalnya, selain setiap orang memiliki hak azasi (human right), seperti hak hidup dan menyatakan pendapat secara bebas, juga memiliki hak sosial (social right ), seperti kesamaan hak dalam memperoleh pendidikan, pekerjaan, perumahan atau berpartisipasi dalam pembangunan.
Kebijakan sosial diartikan sebagai kebijakan yang menyangkut aspek sosial dalam pengertian spesifik, yakni yang menyangkut bidang kesejahteraan sosial. Huttman (1981), dan Gilbert dan Specht (1986) melihat kebijakan sosial dari tiga sudut pandang yakni kbijakan sosial sebagai proses (process), sebagai produk (product), sebagai kinerja atau capaian (performence). Sebagai suatu proses, kebijakan sosial menunjuk pada tahapan perumusan kebijakan dalam kaitannya dengan variabel-variabel sosio-politik dan teknik metodologis. Kebijakan sosial merupakan suatu tahapan untuk membuat sebuah rencana tindakan (plan of action) yang dimulai dari pengidentifikasian kebutuhan (assessing need), penetapan alternatif-alternatif kebutuhan tindakan, penyeleksian strategi-strategi kebijakan, sampai pada evaluasi terhadap pengimplementasian kebijakan. Magill (1986) memberi istilah terhadap makna kebijakan sebagai proses ini sebagai pengembangan kebijakan (policy development) yang maknanya menunjuk pada proses perumusan kebijakan (policy formulation).
Sebagai suatu produk, kebijakan sosial adalah hasil dari proses perumusan kebijakan atau perencanaan sosial. Dalam pengertian ini kebijakan sosial mencakup segala bentuk peraturan, perundang-undangan atau proposal program yang berfungsi sebagai pedoman dalam melaksanakan berbagai kegiatan proyek. Dimensi kedua dari kebijakan ini melihat kebijakan sosial sebagai rumusan strategi (formulated strtegy), atau merujuk pada pendapat Kahn (1973) sebagai suatu rencana induk (standing plan).perlu dijelaskan di sini bahwa peraturan atau perundang-undangan adalah sebuah kebijakan, namun tidak semua kebijakan adalah peraturan atau perundang-undangan.
Dun (1981) dan Quade (1981) mengatakan Sebagai suatu kinerja (performance), kebijkan sosial merupakan deskripsi atau evaluasi terhdap hasil-hsil pengimplementasian produk kebijakan sosial atau pencapaian tujuan sutu rencana pembangunan. Kebijakan sosial dalam pengaertian ini menyangkut kegiatan analisis untuk melihat dampak atau pengaruh yang terjadi pada masyarakat, baik yang bersifat positif maupun negatif, sebagi akibat dari diterapkannya suatu peraturan, perundang-undangan, atau suatu program. Secara khusus, dimensi ketiga kebijakan sosial ini seringkali diistilahkan dengan analisis kebijakan sosial (socil policy analysis) (Suharto, 2005: 7-12).
Melihat kebijakan sosial di artikan sebagai kebijakan yang menyangkut aspek sosial dalam pengertian spesifik, yakni menyangkut bidang kesejahteraan sosial, dimana pembangunan bidang kesejahteraan sosial merupakan bagian integral. Pembangunan kesejahteraan rakyat ini selaras dengan konsepsi pembangunan sosial, yang dalam literatur mencakup pembangunan di bidang kesehatan, pendidikan dan perumahan (Hardiman dan Midgley, 1982). Oleh karena itu, di Indonesia kesejahteraan sosial, sedangkan luas merujuk pada pembangunan sosial, sedangkan secara sempit mengacu pada pembangunan kesejahteraan sosial. Pembangunan ekonomi nasional selama ini masih belum mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat secara luas. Indikator utamanya adalah tingginya ketimpangan dan kemiskinan. 
Pembangunan bidang kesejahteraan rakyat adalah proses meningkatkan kondisi kehidupan masyarakat Indonesia dalam memenuhi kebutuhan dasarnya. Definisi kebutuhan dasar tidak terbatas pada tersedianya kebutuhan pokok pangan, sandang, perumahan, pendidikan, dan kesehatan. Dalam mewujudkan sasaran pembangunan kementerian koordinator bidang kesejahteraan rakyat telah menetapkan tiga pilar kebijakan, yaitu penanggulangan kemiskinan dan pengurangan pengangguran, tanggap cepat masalah kesejahteraan rakyat, serta pengembangan dan investasi SDM. Ketiga pilar di atas merupakan bagian dari pembangunan manusia Indonesia yang lebih sejahtera. (Wangsa, 2007:129)
Sejahtera adalah keadaan keluarga yang hidup makmur dalam kelompok teratur berdasarkan sistem nilai, babas dari penyakit, tidak ada gangguan dan menyenangkan. Berdasarkan konsep tersebut ada beberapa faktor yang perlu dikaji agar dapat menjelaskan konsep sejahtera. Beberapa faktor tersebut adalah ekonomi, sosial, budaya, kesehatan, keamanan dan hiburan, yang saling berkorelasi satu sama lain.
Faktor ekonomi berkenaan dengan kemakmuran yang pada dasarnya meliputi kecukupan sandang, pangan dan perumahan, yang diperoleh karna mampu bekerja keras. Faktor sosial berkenaan dengan hidup berkelompok secara teratur. Faktor budaya berkenaan dengan hidup bersih bebas dari penyakit. Faktor keamanan berkenaan dengan ketenteraman karena tidak ada gangguan fisik dan mental. Faktor hiburan berkenaan dengan kesenangan hidup yang menyegarkan. Apabila kehidupan suatu keluarga dalam suatu masyarakat telah memenuhi faktor-faktor tersebut, dapat dikatakan bahwa keluarga itu adalah keluarga sejahtera (Abdulkadir, 2005: 24).
Kesejahteraan adalah suatu keadaan secara sosial tersusun dari tiga unsur sebagai berikut. Pertama, setinggi apa masalah-masalah sosial dikendalikan. Kedua, seluas apa kebutuhan-kebutuhan dipenuhi dan ketiga setinggi apa kesempatan-kesepatan untuk maju tersedia. Tiga unsur ini berlaku bagi individu-individu, keluarga, komunitas dan bahkan seluruh masyarakat. (http//pdfdatabase.com, diakses tanggal 02 Oktober 2010)
Hingga pada tahun ini kabupaten Lombok Timur masih dihadapi dengan berbagai permasalahan yang berkaitan dengan keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Permasalahan ini terjadi karena rendahnya kesejahteraan dan kesejahteraan tersebut tidak dinikmati secara merata (adil) oleh seluruh lapisan masyarakat. Untuk itu, kedepan dalam periode 2008-2013 pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya akan diupayakan secara merata (adil) guna mewujudkan peningkatan kesejahteraan masyarakat sehingga dalam peningkatan kesejahteraan tersebut juga terwujud keadilan. Keadilan dan kesejahteraan tidak hanya menjadi isu daerah atau kabupaten Lombok Timur melainkan juga telah menjadi isu nasional maupun internasional/global (Munir, 2009: 64).        
2.      Negara Kesejahteraan (Weifare State)
Negara kesejahteraan merupakan sebuah idiologi, sistem dan sekaligus strategi yang jitu untuk mengatasi dampak negatif kapitalisme. Dalam Negara kesejahteraan, pemecahan masalah kesejahteraan sosial, seperti kemiskinan, pengangguran, ketimpangan dan keterlantaran tidak dilakukan melalui proyek-proyek sosial parsial yang berjangka pendek. Melainkan diatasi secara terpadu oleh program-program jaminan sosial (social security), pelayanan sosial, rehabilitasi sosial, serta berbagai tunjangan pendidikan, kesehatan hari tua, dan pengangguran.
Merujuk pada Spicker (1988: 77) Negara kesejahteraan dapat didefinisikan sebagai sebuah sistem kesejahteraan sosial yang memberi peran yang lebih besar kepada Negara (pemerintah) untuk mengalokasikan sebagian dana publik dimi menjamin terpenuhinyakebutuhan dasar warganya. Menurut Marshall (1981) Negara kesejahteraan merupakan bagian dari sebuah masyarakat modern yang sejalan dengan ekonomi pasar kapitalis dan struktur politik demokratis.
Negara kesejahteraan pertama-tama dipraktekkan di Eropa da AS pada abad 19 yang ditujukan untuk mengubah kapitalisme menjadi lebih manusiawi (compassionate capitalism). Dengan sistem ini, Negara bertugas melindungi golongan lemah dalam masyarakat dari gilasan kapitalisme. Hingga saat ini, Negara kesejahteraan masih dianut oleh Negara maju dan berkembang. Dilihat dari besarnya anggaran Negara untuk jaminan sosial, sistem ini dapat diurutkan ke dalam empat model yaitu:
1.      Model Universal yang dianut oleh Negara-negara Skandinavia, seperti Swedia, Norwegia, Denmark dan Finlandia. Dalam model ini, pemerintah menyediakan jaminan sosial kepeda semua warga Negara secara melembaga dana merata. Anggaran Negara untuk program sosial mencapai lebih dari 60% dari total belanja Negara.
2.      Model institusional yang dianut oleh Jerman dan Austria. Seperti model pertama, jaminan sosial dilaksanakan secara melembaga dan luas. Akan tetapi kontribusi terhadap berbagai skim jaminan sosial berasal dari tiga pihak (payroll contributions), yakni pemerintah, dunia usaha dan pekerja (buruh).
3.      Model residual yang dianut oleh AS, Inggris, Australia dan Selandia baru. Jaminan sosial dari pemerintah lebih diutamakan kepada kelompok lemah, seperti orang miskin, cacat dan pengangguran. Pemerintah menyerahkan sebagian perannya kepada organisasi sosial dan LSM melalui pemberian subsidi bagi pelayanan sosial dan rehabilitasi sosial “swasta”.
4.      Model minimal yang dianut oleh gugus Negara-negara latin (Prancis, Spanyol, Itali, Chili, Brazil) dan Asia (Korea Selatan, Filipina, Srilanka). Anggaran Negara untuk program sosial sangat kecil, di bawah 10% dari total pengeluaran Negara. Jaminan sosial dari pemerintah diberikan secara sporadis, tempore dan minimal yang umumnya hanya diberikan kepada pegawai negeri dan swasta yang mampu mengiur.
Dari paparan di atas dapat dinyatakan bahwa sejatinya Negara kesejahteraan adalah bentuk perlindungan Negara terhadap masyarakat, terutama kelompok lemah seperti orang miskin, cacat, pengangguran agar terhindar dari gilasan mesin kapitalisme. Pertanyaannya adalah atas dasar apa Negara harus melindungi kelompok lemah, seperti oaring miskin dan orang yang tidak (bisa) bekerja? Ada beberapa alasan mengapa Negara diperlukan dalam mengatur dan melaksanakan pembangunan sosial (Suharto, 1999: 2000).
Pertama, pembangunan sosial merupakan salah satu piranti keadilan sosial yang konkret, terencana dan terarah, serta manifestasi pembelaan terhadap masyarakat kelas bawah. Tidak semua warga Negara memiliki kemampuan dan kesempatan yang sama dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Negara wajib melindungi dan menjamin kelompok-kelompok rentan yang tercecer dalam balapan pembangunan.
Kedua, semakin memudarnya solidaritas sosial dan ikatan kekeluargaan pada masyarakat modern membuat pelayanan sosial yang tadinya mampu disediakan lembaga keluarga dan keagamaan semakin melemah. Pembangunan sosial seringkali tidak menghasilkan keuntungan ekonomi bagi penyelenggaranya, sehingga kurang menarik minat pihak swasta untuk berinvestasi di bidang ini. Dengan kebijakan yang didukung UU, Negara memiliki legitimasi kuat untuk melaksanakan investasi sosial berdasarkan “risk-sharing across populations” yang dananya dialokasikan dari hasil pajak dan sumber pembangunan lainnya.
Ketiga, Negara perlu memberikan pelayanan sosial (social services) kepada warganya sebagai bentuk tanggungjawab moral terhadap rakyat yang memilihnya. Salah satu wewenang yang diberikan publik kepada Negara adalah memungut pajak dari rakyat. Karenanya, prinsip utama yang mendorong mengapa Negara perlu memberikan jaminan sosial adalah bahwa semua bentuk perlindungan sosial di atas termasuk dalam kategori “hak-hak dasar warga Negara” yang wajib dipenuhi oleh Negara sebagai wujud pertanggungjawaban moral terhadap konstituen yang telah memilihnya.
Keempat, manusia cenderung berpandangan “myopic” (pendek) sehingga kurang tertarik mengikuti program-program sosial jangka panjang. Negara bersifat paternalistik (pelindung) yang mampu memberikan jaminan sosial secara luas dan merata guna menghadapi resiko-resiko masa depan yang tidak tentu, seperti sakit, kematian, pensiun, kecacatan, bencana alam dan sebagainya. (Suharto, 2005: 49-53)
Angka kemiskinan ini akan lebih besar lagi jika dalam kategori kemiskinan dimasukan penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) yang kini jumlahnya mencapai lebih dari 21 juta orang. PMKS meliputi gelandangan, pengemis, anak jalanan, yatim piatu, jompo terlantar dan penyandang cacat yang tidak memiliki pekerjaan atau memiliki pekerjaan namun tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Secara umum kondisi PMKS lebih memprihatinkan ketimbang orang miskin. Selain memiliki kekurangan pangan, sandang dan papan, kelompok rentan (vulnerable group) ini mengalami pula ketelantaran psikologis, sosial dan politik.
Pembangunan ekonomi jelas sangat mempengaruhi tingkat kemakmuran suatu negara. Namun, pembangunan ekonomi yang sepenuhnya diserahkan kepada mekanisme pasar tidak akan secara otomatis membawa kesejahteraan kepada seluruh lapisan masyarakat. Pengalaman negara maju dan berkembang membuktikan bahwa meskipun mekanisme pasar mampu menghasilkan pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja yang optimal, ia selalu gagal menciptakan pemerataan pendapatan dan memberantas masalah sosial.
Orang miskin dan PMKS adalah kelompok yang sering tidak tersentuh oleh strategi pembangunan yang bertumpu pada mekanisme pasar. Kelompok rentan ini, karena hambatan fisiknya (orang cacat), kulturalnya (suku terasing) maupun strukturalnya (penganggur), tidak mampu merespon secepat perubahan sosial di sekitarnya, terpelanting ke pinggir dalam proses pembangunan yang tidak adil.
Itulah salah satu dasarnya mengapa negara-negara maju berusaha mengurangi kesenjangan itu dengan menerapkan welfare state (negara kesejahteraan). Suatu sistem yang memberi peran lebih besar kepada negara (pemerintah) dalam pembangunan kesejahteraan sosial yang terencana, melembaga dan berkesinambungan.
Dalam negara kesejahteraan, pemecahan masalah kesejahteraan sosial, seperti kemiskinan, pengangguran, ketimpangan dan ketelantaran tidak dilakukan melalui proyek-proyek sosial parsial yang berjangka pendek. Melainkan diatasi secara terpadu oleh program-program jaminan sosial (social security), seperti pelayanan sosial, rehabilitasi sosial, serta berbagai tunjangan pendidikan, kesehatan, hari tua, dan pengangguran.
3.      Peraturan Pemerintah Dalam Penanganan Gepeng
Pembangunan kesejahteraan sosial di Indonesia sesungguhnya mengacu pada konsep negara kesejahteraan. Dasar Negara Indonesia (sila kelima Pancasila) menekankan prinsip keadilan sosial dan secara eksplisit konstitusinya UUD 1945 telah di amandemen empat kali pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002 yang telah menghasilkan rumusan Undang - Undang Dasar yang jauh lebih kokoh menjamin hak konstitusional warga negara.
Gepeng , anak jalanan, pemerintah, dan UUD 1945 Pasal 34 ayat 1 saling berhubungan, UUD 1945 Pasal 34 Ayat 1 yang  berbunyi Fakir Miskin dan anak - anak yang terlantar dipelihara oleh negara. UUD 1945 Pasal 34 Ayat 1 tersebut mempunyai makna bahwa gepeng dan anak - anak jalanan dipelihara atau diberdayakan oleh negara yang dilaksanakan oleh pemerintah begitupula dalam pasal 27 ayat 2 yang berbunyi Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Mengamanatkan tanggungjawab pemerintah dalam pembangunan kesejahteraan sosial. Namun demikian, amanat konstitusi tersebut belum dipraktekan secara konsekuen. Baik pada masa Orde Baru maupun era reformasi saat ini, pembangunan kesejahteraan sosial baru sebatas jargon dan belum terintegrasi dengan strategi pembangunan ekonomi.
Penanganan masalah sosial masih belum menyentuh persoalan mendasar. Program-program jaminan sosial masih bersifat parsial dan karitatif serta belum didukung oleh kebijakan sosial yang mengikat. Orang miskin dan PMKS masih dipandang sebagai sampah pembangunan yang harus dibersihkan. Kalaupun di bantu, baru sebatas bantuan uang, barang, pakaian atau mie instant berdasarkan prinsip belas kasihan, tanpa konsep dan visi yang jelas. (http://www.policy.hu/suharto/modul_a/makindo_40.htm/ diakses tanggal, 20 Desember 2011)
Kebijakan pemerintah yang pro rakyat sudah sangat lama ditunggu oleh masyarakat kelas bawah, karena tanpa adanya kebijakan pemerintah yang legal dan formal untuk mengatasi masalah-masalah sosial yang ada maka akan sulit untuk di atasi. Kebijakan-kebijakan pemerintah tertuang dalam peraturan perundang-undangan yang ada sekarang ini sesuai dengan UU No. 10 Tahun 2004 terdiri dari UUD 1945, UU/Perpu, PP, Perpres, dan Perda.
Penanggulangan gelandangan dan pengemisan yang meliputi usaha-usaha preventif, represif, rehabilitatif bertujuan agar tidak terjadi pergelandangan dan pengemisan, serta mencegah meluasnya pengaruh akibat pergelandangan dan pengemisan di dalam masyarakat, dan memasyarakatkan kembali gelandangan dan pengemis menjadi anggota masyarakat yang menghayati harga diri, serta memungkinkan pengembangan para gelandangan dan pengemis untuk memiliki kembali kemampuan guna mencapai taraf hidup, kehidupan, dan penghidupan yang layak sesuai dengan harkat martabat manusia.
Usaha preventif dimaksudkan untuk mencegah timbulnya gelandangan dan pengemis di dalam masyarakat, yang ditujukan baik kepada perorangan maupun kelompok masyarakat yang diperkirakan menjadi sumber timbulnya gelandangan dan pengemis. Usaha sebagaimana dimaksud  antara lain dengan: a) penyuluhan dan bimbingan sosial; b) pembinaan sosial; c) bantuan sosial; d) perluasan kesempatan kerja; e. pemukiman lokal; f) peningkatan derajat kesehatan.
Usaha represif dimaksudkan untuk mengurangi dan/atau meniadakan gelandangan dan pengemis yang ditujukan baik kepada seseorang maupun kelompok orang yang disangka melakukan pergelandangan dan pengemisan. Usaha represif sebagaimana dimaksud meliputi: razia, penampungan sementara untuk diseleksi, pelimpahan.
Usaha tindak lanjut ditujukan kepada gelandangan dan pengemis yang telah disalurkan, agar mereka tidak kembali menjadi gelandangan dan pengemis dengan meningkatkan kesadaran berswadaya, memelihara, memantapkan dan meningkatkan kemampuan sosial ekonomi, dan menumbuhkan kesadaran hidup bermasyarakat.
Usaha rehabilitatif terhadap gelandangan dan pengemis meliputi usaha-usaha penampungan, seleksi, penyantunan, penyaluran dan tindak lanjut, bertujuan agar fungsi sosial mereka dapat berperan kembali sebagai warga masyarakat. Usaha rehabilitatif sebagaimana dilaksanakan melalui Panti Sosial.




























BAB III
METODE PENELITIAN

A.  JENIS DAN PENDEKATAN
Jenis penelitian ini adalah penelitian kebijakan (studi kebijakan). Penelitian kebijakan merupakan penawaran kompromi, terutama antara peneliti dengan klien atau stakeholder. Menurut Coleman sebagaimana yang dikutip Sudarwan Danim dalam bukunya Pengantar Studi Penelitian Kebijakan bahwa dikarenakan penelitian kebijakan beroperasi pada batas metodologi penelitian pada umumnya (terutama penelitian ilmu-ilmu sosial), maka tidak ada metodologi tunggal, metodologi yang komprehensif untuk melaksanakan analisis teknikal dari penelitian kebijakan. Salah satu metode penelitian kebijakan yaitu: metode kualitatif (Sri Rahayu, dalam http://ilmumetodepenelitian.blogspot.com/2009/11/).
Adapun pendekatannya adalah kualitatif yakni untuk mencari data primer dalam penelitian ini antara lain wawancara, observasi dan kelompok terfokus. Kelompok terfokus ialah salah satu jenis teknik yang dapat dipakai, dimana individu dicari secara terseleksi dalam kelompok dan diarahkan kepada diskusi yang terfokuskan pada topik pra spesifik. Kelompok semacam ini sangat baik untuk membangun isu dan menjejaki faktor-faktor potensial sebagai penyebab suatu peristiwa.
Jenis penelitian ini dimaksudkan untuk penjelajahan di lapangan dan klasifikasi (pejelasan) mengenai suatu fenomena atau kenyataan sosial dengan jalan mendeskripsikan sejumlah variabel yang berkenaan dengan masalah dan unit yang diteliti terutama dalam penelitian studi kebijakan.
Pendekatan kualitatif adalah salah satu pendekatan dalam melakukan penelitian yang berorientasi pada gejala-gejala yang bersifat alamiah karena orientasinya demikian, maka sifatnya naturalistik dan mendasar atau bersifat kealamiahan serta tidak bisa dilakukan di laboraturium melainkan di lapangan. (Moleong, 2006).
Penggunaan pendekatan kualitatif dalam penelitian ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Strauss dan Corbin (1990), yaitu bahwa pendekatan kualitatif adalah hal-hal yang berkaitan dengan deskripsi proses dan mekanisme perubahan, terutama dalam konteks historis, baik pada dimensi kultural maupun sosial.

B.  LOKASI PENELITIAN
Untuk kepentingan penelitian ini guna memperoleh data yang baik maka lokasi yang dipilih adalah Kabupaten Lombok Timur yaitu di Kota Selong, lebih khusus lagi di Dinas Sosial Tenaga Kerja Dan Transmigrasi. Alasan memilih lokasi penelitian ini karena lokasi penelitian lebih mudah dijangkau dan sesui dengan karakter judul penelitian ini.  

C.    SUBYEK PENELITIAN
Pada penelitian ini, subyek penelitian atau yang menjadi informan adalah pemerintah daerah yang menangani masalah sosial khususnya gelandangan dan pengemis yaitu Dinas Sosial Transmigrasi dan Tenaga Kerja Kabupaten Lombok Timur. Pada subyek penelitian ini bersifat Purposive sampling adalah pemilihan sampling penelitian dengan pertimbangan dan tujuan tertentu, misalnya orang tersebut dianggap paling tahu tentang permasalahan dalam penelitian ini sehingga akan memudahkan peneliti menjelajahi obyek/situasi yang diteliti.

D.    JENIS DAN SUMBER DATA
1.    Jenis Data
Adapun dalam penelitian kualitatif menggunakan dua jenis data yaitu jenis data primer dan jenis data sekunder.
a.       Data primer
Data primer merupakan sumber data penelitian yang diperoleh secara langsung dan tidak melalui media perantara. Data primer dapat berupa opini subyek (orang) secara individu atau kelompok, hasil observasi terhadap suatu benda (fisik), kejadian atau kegiatan, dan hasil pengujian.
b.      Data sekunder
Data sekunder merupakan sumber data penelitian yang diperoleh peneliti secara tidak langsung melalui media perantara (diperoleh dan dicatat oleh pihak lain). Data sekunder umumnya berupa bukti, catatan, atau laporan historis yang telah tersusun dalam arsip (data dokumenter) yang dipublikasikan maupun yang tidak dipublikasikan. Data ini menyangkut kondisi daerah lokasi penelitian dan data lainnya yang menunjang penelitian. (Sangadji dan Sopiah, 2010: 44)
2.    Sumber Data
Menurut Lofland dalam Meleong (2000:112) sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata, dan tindakan selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain. Berkaitan dengan hal itu pada bagian ini jenis datanya berupa kata-kata dan tindakan, sumber data tertulis, foto dan statistik. Sedangkan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yang diambil dari observasi dan wawancara, sedangkan data skundernya menggunakan foto-foto dan tape rekaman (Moleong, 2006: 157).
Dalam penelitian kualitatif, sampel sumber data dipilih secara purposive dan bersifat snowball sampling. Purposive sampling adalah pemilihan sampling penelitian dengan pertimbangan dan tujuan tertentu, misalnya orang tersebut dianggap paling tahu tentang permasalahan dalam penelitian ini sehingga akan memudahkan peneliti menjelajahi obyek/situasi yang diteliti.
Snowball sampling adalah teknik pengambilan sumber data, pada awalnya jumlahnya sedikit, lama-lama menjadi besar. Hal ini dilakukan karena jumlah sumber data yang sedikit itu belum mampu memberikan data yang lengkap, maka perlu mencari orang lain lagi yang dapat digunakan sebagai sumber data. Dengan demikian sampel data akan semakin besar, separti bola salju yang menggelinding, lama-lama menjadi besar (Sugiyono, 2009: 124-125).

E.  TEKNIK PENGUMPULAN DATA
 Dalam rangka mempermudah proses pengumpulan data dan untuk mengangkat data yang dikumpulkan, penulis harus mampu memilih teknik dan strategi yaitu, memilih dan menetapkan metode yang efektif, efisien dan tepat guna serta relevan dengan jenis data yang hendak dikumpulkan.
Untuk mengadakan atau mengumpulkan data sebagai jalan pendukung dalam melaksanakan penelitian ini maka penulis akan mengumpulkan data dengan menggunakan beberapa metode antara lain adalah:
1)        Metode  Observasi
Metode observasi adalah suatu sistem atau cara mengumpulkan data dengan mengadakan pengamatan yang sistematis terhadap gejala-gejala yang akan diteliti. Dalam penelitian ini observasi dilakukan untuk mengetahui peran pemerintah daerah dalam penanganan gepeng di kota selong. Pada metode observasi ini peneliti secara langsung mengamati apa yang terjadi di lapangan sehingga peneliti mengetahui gejala-gejala yang timbul/masalah yang ada di lapangan  (Usman dan Akbar, 2009: 54).
2)        Metode Interview
Metode interview disebut juga metode wawancara adalah percakapan yang dilakukan oleh dua belah pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan terwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu (Moleong, 2006: 186).
Dalam hal ini peneliti mewawancarai responden terkait yaitu pihak dari Dinas sosial, para penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) khususnya para pengemis dan gelandangan.
3)        Metode Dokumentasi
Dokumentasi mempunyai benda-benda tertulis atau catatan penting. Metode dokumentasi adalah metode pengambilan data yang diperoleh dari dokumen-dokumen. Jadi dalam dokumentasi ini berupa foto-foto serta berupa data tertulis.  (Usman dan Akbar, 2009: 69)

F.       UJI KEABSAHAN DATA
Untuk mendapatkan keabsahan data diperlukan teknik pemeriksaan. Pelaksanaan teknik pemeriksaan didasarkan atas sejumlah kriteria tertentu. Ada 4 kriteria yang digunakan yaitu :
1.    Derajat dan kepercayaan (credibillity)
Penerapan derajat kepercayaan ini berfungsi dalam penelitian ini untuk melaksanakan inguisi sedemikian rupa sehingga tingkat kepercayaan penemu dapat dicapai, mempertunjukkan derajat kepercayaan hasil-hasil penemuan dengan jalan membuktikan oleh peneliti pada kenyataan yang sedang diteliti.
Artinya bahwa seorang peneliti di lapangan harus bisa meningkatkan kepercayaannya tehadap apa yang ditemukan di lapangan dan peneliti harus mampu menunjukkan hasil temuannya disertai bukti-bukti yang nyata.
2.    Keteralihan (transferbillity)
Bahwa suatu penemuan dalam penelitian ini dapat berlaku atau dapat diterapkan pada suatu konteks dalam populasi yang sama atas dasar penemuan yang diperoleh. Artinya bahwa keteralihan seorang peneliti harus bisa diterapkan di lapanngan terhadap segala apa yang ditemukan yang sesuai dengan apa yang dikehendaki peneliti.
3.    Ketergantungan (dependabillity)
Ketergantungan dalam penelitian ini maksudnya antara data yang diperoleh observasi, wawancara, dan dokumentasi saling keterkaitan sehingga memperoleh suatu kesimpulan.
4.    Kepastian (konfermabillity)
Kriteria kepastian ini berasal dari konsep objektifitas dalam penelitian kualitatif ini menekankan pada datanya itu sendiri, jadi isinya di sini keterkaitan ciri-ciri data. Dari sinilah data dicocokkan antara informasi apa yang telah didapatkan dari para intrumen dan dinas sosial, dengan data yang sudah didokumentasikan sehingga hasil penelitian ini dapat dipastikan kebenarannya (Moleong, 2006: 324-326).

G. TEKNIK ANALISIS DATA
Data yang terkumpul selama peneliti melakukan penelitian perlu dianalisis dengan teliti, secara ulet dan cakap, sehingga diperoleh suatu kesimpulan yang objektif dari suatu penelitian. Bila data dan informasi yang sudah diperoleh itu dianalisis dan interpretasikan, maka akan diketahui tentang peran pemerintah daerah dalam menanggulangi gepeng di kabupaten Lombok Timur.
 Menurut Bogdan dan Biklen (1992), analisis data adalah proses pencarian dan penyusunan data yang sistematis melalui transkrip wawancara, catatan lapangan, dan dokumentasi yang secara akumulasi menambah pemahaman peneliti terhadap yang ditemukan. Sedangkan menurut Spradley (1997), analisis data merujuk pada pengujian sistematis terhadap sesuatu untuk menentukan bagian-bagiannya, hubungan diantara bagian-bagian, dan hubungan bagian-bagian itu dengan keseluruhan. Nasution (1988) menyatakan bahwa analisis data ialah proses menyusun data agar dapat ditafsirkan. Menyusun data berarti menggolongkannya (mengategorikannya) dalam pola atau tema. Tafsiran atau interpretasi artinya memberikan makna terhadap analisis, menjelaskan pola atau kategori, serta mencari hubungan antara berbagai konsep.
Dari definisi-definisi di atas dapat disimpulkan bahwa analisis data ialah kegitan analisis mengategorikan data untuk mendapatkan pola hubungan, tema, menafsirkan apa yang bermakna, serta menyampaikannya atau melaporkannya kepada orang lain yang berminat (Usman dan Akbar, 2009: 84).
Penelitian kualitatif menggunakan analisis data secara induktif. Analisis data secara induktif ini digunakan karena beberapa alasan. Pertama, proses induktif lebih dapat menemukan kenyataan-kenyataan jamak sebagai yang terdapat dalam data. Kedua, analisis lebih dapat membuat hubungan peneliti-responden menjadi eksplisit, dapat dikenal dan akuntabel. Ketiga, analisis demikian lebih dapat menguraikan latar secara penuh dan dapat membuat keputusan tentang dapat-tidaknya pengalihan pada suatu latar lainnya. Keempat, analisis induktif lebih banyak menemukan pengaruh bersama yang mempertajam hubungan-hubungan. Kelima, analisis demikian dapat memperhitungkan nilai-nilai secara eksplisit sebagai bagian dari struktur analitik (Moleong, 2006: 10).    
Analisis data kualitatif bersifat induktif yaitu suatu analisis yang diperoleh, selanjutnya dikembangkan pola hubungan tertentu atau menjadi hipotesis. Berdasarkan hipotesis yang dirumuskan berdasarkan data tersebut, selanjutnya dicarikan data lagi secara berulang-ulang sehingga selanjutnya dapat disimpulkan apakah hipotesis tersebut diterima atau ditolak berdasarkan data yang terkumpul. Bila berdasarkan data yang dikumpulkan secara berulang-ulang dengan teknik triangulasi, ternyata hipotesis diterima, maka hipotesis tersebut berkembang menjadi teori (Sugiyono, 2009: 335).
















BAB IV
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

A.   Letak dan Luas Wilayah
Kabupaten Lombok Timur adalah salah satu kabupaten diantara sepuluh  Kabupaten/Kota di Provinsi Nusa Tenggara Barat, di sebelah timur pulau Lombok, dengan letak geogarfis antara 116o-117o bujur timur dan 8o-9o lintang selatan. Luas wilayahnya tercatat 2.679,88 Km2, terdiri atas daratan seluas 1.605,55 Km2 atau (59,91%) dan lautan seluas 1.074,33 Km2 (40,09%). Secara administartif kabupaten Lombok Timur terdiri dari 20 kecamatan, 13 kelurahan, 106 desa, 772 lingkungan/ dusun dengan batas administrative sebagai berikut:
Sebelah Timur           : Selat Alas
Sebelah Selatan         : Samudara Indonesia
Sebelah Barat            : Kabupaten Lombok Barat dan Lombok Tengah
Sebelah Utara          : Laut Jawa
Luas dartan kabupaten Lombok Timur mencakup 33,88 persen dari luas pulau Lombok atau 7,97 persen dari luas daratan Propinsi Nusa Tenggara Barat.
Pada tahun 2009 penggunaan lahan daratan seluas 160.555 ha terdiri atas lahan sawah seluas 45.521 ha (28,35 persen) dan lahan kering seluas 115.034 ha (71,65 persen). Lahan kering ini sebagian besar atau sekitar 48,62 persennya berupa hutan Negara dan hutan rakyat.

B.     Demografi dan Mata Pencaharian
Jumlah penduduk di kabupaten Lombok Timur cenderung meningkat. Dengan laju pertumbuhan rata-rata 1,33 persen per tahun diperkirakan jumlah penduduk Lombok Timur 2009 mencapai 1.096.165 jiwa.
Menurut hasil sensus penduduk 2010, jumlah penduduk Lombok Timur adalah 1.105.671 jiwa terdiri dari 514.327 jiwa penduduk laki-laki dan 591.344 jiwa penduduk perempuan. Ratio jenis kelamin Lombok Timur sebesar 87. Hal ini menggambarkan jumlah penduduk perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki.
Table 2
Rata-rata anggota rumah tangga menurut kecamatan di Kabupaten Lombok Timur (Hasil sensus penduduk 2010)
No
Kecamatan
Jumlah rumah tangga
Jumlah penduduk
Rata-rata anggaran rumah tangga
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
1
Keruak
13,577
47,693
3.51
2
Jerowaru
15,729
53,200
3.38
3
Sakra
14,623
52,833
3.61
4
Sakra barat
13,667
46,826
3.43
5
Sakra timur
12,026
41,033
3.41
6
Terara
19,603
65,488
3.34
7
Montong gading
12,753
40,556
3.18
8
Sikur
19,719
67,616
3.43
9
Masbagik
27,550
93,927
3.41
10
Pringgasela
14,681
50,081
3.41
11
Sukamulia
8,741
30,392
3.48
12
Suralaga
15,738
51,837
3.29
13
Selong
24,206
82,505
3.41
14
Labuhan haji
15,759
53,134
3.37
15
Pringgabaya
25,554
90,605
3.55
16
Suela
11,512
37,609
3.27
17
Aikmel
27,183
92,818
3.41
18
Wanasaba
17,466
59,282
3.39
19
Sembalun
5,548
18,776
3.38
20
Sambalia
8,292
29,460
3.55

Jumlah
323,927
1,105,671
3.41
            Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Lombok Timur
Berdasarkan kelompok umurnya diketahui bahwa penduduk di Kabupaten Lombok Timur sebagian besar (63,50%) tergolong penduduk usia produktif  (15-64 tahun) sebelebihnya tergolong penduduk bukan usia produktif yang terdiri atas 31,40% penduduk ana-anak  (0-14 tahun) dan 5,10% penduduk lansia (65 tahun).
Mata pencaharian penduduk di Kabupaten Lombok Timur sebagian besar dari sector pertanian (59,55%), selebihnya dari sector perdagangan, hotel, restouran (11,95%), jasa-jasa (9,14%), industry (8,83%) dan lain-lain (10,53%) keadaan ini juga diperlihatkan dari pola penggunaan lahan yang ada, yaitu pemukiman (5,01%), hutan (34%), tanah kosong (tandus, kritis) 1%.

C.    Pendidikan
Tingkat pendidikan merupakan salah satu indicator penting dalam penentuan pencapaian angka indeks pembangunan manusia (IPM) yang tinggi bagi suatu daerah. Ada dua indicator pendidikan yang termasuk dalam indicator IPM yaitu angka melek huruf dan angka rata-rata lama sekolah penduduk usia 10 tahun ke atas.
Dilihat dari persentase penduduk laki-laki dan perempuan berusia 10 tahun ke atas menurut tingkat pendidikan tertinggi yang ditamatkan menunjukkan bahwa tingkat pendidikan penduduk laki-laki yang paling banyak adalah SD/MI (28,82%) dan paling sedikit adalah perguruan tinggi (5,81%) sedangkan tingkat pendidikan penduduk perempuan paling banyak juga SD/MI (29,79%) dan paling sedikit adalah perguruan tinggi (1,16%). 
  Tingkat pendidikan yang telah dicapai oleh masyarakat di suatu daerah merupakan salah satu indicator tingkat kesejahteraan masyarakat di suatu daerah tersebut. Semakin tinggi tingkat pendidikan masyarakat maka tingkat kesejahteraan masyarakat relative semakin tinggi. Selain tingkat pendidikan yang dapat dicapai masyarakat, pemerataan pendidikan juga perlu mendapatkan perhatian. Pendidikan yang merata akan memudahkan penyerapan informasi secara benar oleh masyarakat.  
Begitu pentingnya peran pendidikan dalam menopang kelangsungan hidup  masyarakat, pemerintah dalam salah satu program kerjanya berusaha untuk meningkatkan mutu dasar sumber daya manusia sejak usia dini untuk mengenyam pendidikan yang layak. Pemerintah melalui program wajib belajar mengharuskan penduduk usia sekolah 6-7 tahun dapat mengikuti pendidikan formal SD sampai SLTP.
Sebagai gambaran perkembangan pendidikan di Kabupaten Lombok Timur salah satunya dapat dilihat melalui ratio murid-sekolah dan murid-guru. Kedua angka ini menunjukkan sejauh mana kecukupan daya tampung fasilitas sekolah dan kuantitas guru dalam proses belajar mengajar. Pada prinsipnya semakin kecil nilai ratio tersebut mempunyai makna yang lebih baik sebab pengawasan terhadap murid lebih intensif.
Tabel 1
Ratio Murid-Guru Menurut Jenjang Sekolah di Kabupaten Lombok Timur Tahun 2008-2009
No
Jenjang Sekolah
Ratio Muri-Sekolah
Ratio Murid-Guru


2008
2009
2008
2009
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
1
TK
33
54,89
9
14,49
2
SD/MI
179
179,68
16
15,47
3
SLTP/MTs
197
201,36
9
8,53
4
SLTA/MA/SMK
239
229,78
9
8,62
Sumber: BPS Kabupaten Lombok Timur (Data Diolah)
Pada tabel dapat dilihat secara umum perbandingan kuantitas antara Murid-Guru pada tahun 2009 mencerminkan kondisi yang lebih baik jika dibandingkan dengan kondisi tahun 2008.
  
D.    Kesehatan
Fasilitas kesehatan yang tersedia di kabupaten Lombok Timur yaitu 2 buah rumah sakit, diantaranya di Kecamatan Selong dan Kecamatan Labuhan Haji. Selain itu jaga terdapat puskesmas yang tersebar di seluruh kecamatan dalam wilayah Kabupaten Lombok Timur, bahkan di Kecamatan Aikmel fasilitas kesehatan didukung dengan tersedianya 3 unit peskesmas.
Selain fasilitas kesehatan, juga didukung dengan adanya tenaga kesehatan. selama tahun 2009 tercatat dokter spesialis sebanyak 1 orang, dokter umum sebanyak 34 oarang, dokter gigi sebanyak 12 orang, dan tenaga kesehatan lainnya sebanyak 591 orang.

E.     Kondisi ekonomi
Pertumbuhan ekonomi Kabupaten Lombok Timur (laju pertumbuhan produk domestic regional bruto (PDRB)) selama 5 tahun terakhir dalam periode 2004-2008 bersifat fluktuatif yaitu sebesar 4,85% (2004) dan mengalami penurunan menjadi 4,57%  (2005) kemudian mengalami kenaikan menjadi 4,69% (2006) dan pada tahun 2007 meningkat menjadi 5,09% kemudian meningkat lagi menjadi 5,47% selama tahun 2008.
Berdasarkan analisis reggresi diperoleh bahwa meskipun pertumbuhan

F.     Kemiskinan
Kemiskinan di Kabupaten Lombok Timur dalam priode sebelumnya (2003-2006) tidak mengalami dimana prosentase penduduk miskin pada tahun 2003 mencapai 27,49%, tahun 2004 mencapai 26,57%, pada tahun 2005 mencapai 26,08% dan pada tahun 2006 mencapai 27,44%. Prosentase rata-rata penduduk miskin di Kabupaten Lombok Timur dalam priode 2003-2006 mencapai 21,55%, artinya jauh di atas rata-rata tingkat kemiskinan provinsi NTB sebesar 16,8% dalam priode yang sama.






BAB V
PERAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENANGANAN GEPENG (STUDI KEBIJAKAN PEMERINTAH DAERAH DI KOTA SELONG)

Faktor kemiskinan absolute sangat mempengaruhi terjadinya perilaku seseorang yang ujungnya adalah munculnya para gepeng, kemiskinan absolute adalah keadaan miskin yang diakibatkan oleh ketidak mampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhan pokoknya, seperti untuk makan, pakaian, pendidikan, kesehatan, transportasi dan lain-lain, selain itu juga kemiskinan struktural juga merupakan faktor yang berindikasi sebagai penyebab kemiskinan yang secara turun temurun akan diwarisi kepada keturunannya dan hal ini yang menyebabkan rantai kemiskinan yang tidak akan putus.
Kemunculan Gepeng merupakan indikasi semakin kompleksnya penyakit sosial di masyarakat. Tidak saja kemiskinan masih berkembang dalam kehidupan masyarakat, mentalitas miskin juga semakin merebak pada sebagian individu yang masih berada dalam usia produktif. Dengan begitu menjadi gelandangan dan pengemis itu adalah pilihan yang mudah untuk mendapatkan penghasilan dalam waktu yang singkat. Dengan bermodal baju kumuh dan wajah memelas tanpa merasa kehilangan harga diri.
Kemunculan di Kota Selong sekarang ini menjadi fenomena menarik, di mana sekarang ini para gelandangan, pengemis dan lainnya bergentayangan. Tidak hanya di rumah penduduk namun di perkantoran pun merebak. Mereka para gepeng ini keluar masuk kantor, dari kantor yang satu ke kantor yang lain. Ironisnya, para gepeng ini adalah berbadan sehat dan normal. Mulai dari anak-anak sampai orang dewasa.
Munculnya Gepeng di kota Selong memang merupakan fenomena yang sejak lama terjadi. Sasaran mereka memilih Kota Selong ini dengan alasan yang sangat sederhana yakni tingginya mobilitas sosial masyarakat dan kota adalah pusat perekonomian.

Rendahnya pertumbuhan ekonomi daerah ini menyebabkan kemampuan daerah untuk menciptakan lapangan pekerjaan menjadi sangat terbatas dan menyebabkan pengangguran menjadi banyak. Di samping itu juga rendahnya pertumbuhan ekonomi ini mengakibatkan jumlah penduduk miskin di Kabupaten Lombok Timur masih sangat banyak yaitu 138.322kk atau 691.610 orang.
Bagi kita pada saat sekarang ini kemiskinan yang sangat sering dihadapi mengenai masalah kurangnya kebutuhan pangan, masalah ini yang paling mendesak dan paling rawan bagi masyarakat.
Semakin banyak jumlah orang miskin semakin potensial mereka menjadi gepeng. Menurut hasil wawancara saya dengan salah satu pimpinan bagian masalah kemiskinan yaitu Jumedan S, sos. Sebagai Kabag Kemiskinan Mengutarakan:
“Sebagian besar kemiskinan/faktor ekonomi merupakan alasan utama para gelandangan dan pengemis melakukan aktivitas mereka untuk menggepeng seperti yang pernah kami tanyakan alasan apa yang membuat mereka melakukan pekerjaan itu dan ternyata rata-rata jawaban mereka sama karna faktor ekonomi. Ada juga yang melakukannya karna tidak adanya pengalaman dalam bekerja, mereka juga malas bekerja yang pantas dengan fisik yang mendukung dalam bekerja, banyak kan yang kita lihat para pengemis yang seharusnya bisa bekerja normal malah bekerja sebagai pengemis.” (wawancara 6 Desember 2011).

Hal ini sesui dengan apa yang dituturkan oleh salah satu pengemis yang berasal dari Ijobalit yang mengatakan:
“Saya menekuni pekerjaan sebagai pengemis sudah belasan tahun, sejak pasar Selong yang lama. Setelah pasar Selong digusur saya mencari lokasi di emperan toko. Saya melakukan pekerjaan ini untuk memenuhi kebutuhan keluarga saya, lebih-lebih saya mempunyai dua orang anak yang masih sekolah. Saya hanya bisa menghidupi keluarga dari meminta-minta sebab secara fisik saya memiliki keterbatasan (cacat)”.

Pembangunan bidang pendidikan yang selama ini telah dilaksanakan belum sepenuhnya mampu memenuhi hak-hak dasar masyarakat sehingga kualitas sumberdaya manusia di Kabupaten Lombok Timur masih tergolong rendah. Hal ini terlihat dari masih rendanya angka melek huruf dan lama sekolah. Pada tahun 2007 angka melek huruf baru mencapai 79,81% dengan rata-rata lama sekolah 6,31 tahun.
Sukardiman menyatakan
“Secara umum tingkat pendidikan di Kabupaten Lombok Timur tergolong masih rendah. Nah hal ini yang mengakibatkan banyaknya masyarakat yang belum mengecam pendidikan dan buta aksara, karena keterbatasan kemampuan/pendidikan yang yang mereka miliki untuk dikembangkan, sehingga banyak masyarakat yang tidak mempunyai pekerjaan dan akibatnya mereka lebih memilih mencari makan dengan cara instan seperti mengemis, mencuri, dan masih banyak lagi yang lainnya.” (wawancara dengan Kabid Penanganan Penyandang Cacat Sosial di Dinas STT, Lombok Timur, 06 Desember 2011).

Hal ini juga diungkapkan oleh salah seorang gepeng bernama Amaq Udin) berasal dari Kampung Baru Kelurahan Majidi mengatakan, pendidikannya yang rendah membuatnya harus mencari pekerjaan yang mengandalkan fisik. Kerja serabutan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya bersama keluarga.
“Saya dulunya bekerja sebagai pendorong gerobak (ngoros cikar), yang penghasilannya tidak seberapa dan hanya untuk memenuhi kebutuha makan saja, isteri saya hanya sebagai ibu rumah tangga tidak memiliki keterampilan sama seperti saya. Lama-kelamaan jasa sebagai tukang ngoros cikar tidak dibutuhkan lagi karena kalah saing dengan tukang ojek. Itulah sebabnya saya harus meminta-minta terlebih juga penghasilan yang saya dapatkan lebih basa mencukupi kebutuhan sehari-hari dan sisanya bisa saya tabung untuk keperluan sekolah anak saya. Saya hanya tamatan SMP dan tidak memiliki pengalama apa-apa dalm bekerja.” (wawancara, 6 Desember 2011).
Dengan demikian, peranan pendidikan sangat penting dalam menopang kelangsungan hidup masyarakat akan tetapi tingkat pendidikan di Kabupaten Lombok Timur masih rendah. Kondisi ini juga diperlihatkan oleh betapa rendahnya angka pendidikan sekolah (APS) penduduk usia sekolah terutama APS penduduk usia SLTP danSLTA yaitu masing-masing 84,63% dan 50,61% kualitas pendidikan juga masih rendah dan belum mampu memenuhi kebutuhan kompetensi peserta didik. Hal tersebut terutama disebabkan oleh kurang dan belum meratanya pendidik baik secara kuantutas maupun kualitas kesejahteraan pendidik yang masih rendah.
A.      Peran Pemerintah Daerah Dalam Penanganan Gepeng
Sebagai salah satu potret kemiskinan di Lombok Timur adalah masih banyak ditemukannya gelandangan dan pengemis (gepeng), anak jalanan (anak terlantar) yang tidak bisa menikmati sekolah dan masih banyak terlihat di emperan toko, perkantoran, taman kota Selong, pasar Pancor dan juga rumah-rumah penduduk di sekitar kota Selong.
Kehadiran mereka sering kali dianggap sebagai cerminan kemiskinan yang ada di Lombok Timur atau suatu kegagalan yang adaptasi kelompok orang terhadap kehidupan dinamis kota, terutama di bulan ramadhan biasanya gepeng dan anjal meningkat drastis seperti bulan puasa kemarin, masih banysak ditemukan dan tidak hanya di kota Selong saja.
Hal ini menjadi tugas pemerintah daerah Lombok Timur dalam menangani masalah-masalah kesejahreteraan sosial seperti gelandangan, pengemis, anak jalanan dan masih banyak masalah-masalah sosial lainnya. Pemrintah tidak hanya berpangku tangan dengan semua ini diantaranya pemrintah telah mengagendakan beberapa program unuk menangani PMKS termasuk di dalamnya adalah gepeng itu sendiri. Peran yang dilakukan pemerintah yang sudah menjadi programnya adalah:
a.         Melakukan pendataan
Danas Sosial Tenaga Kerja Dan Teransmigrasi (STT) Lombok Timur selaku pemerintah yang menangani persoalan tersebut mengaku kesulitan dalam menangani gepeng tersebut terlebih dalam pendataan. Tidak banyak gepeng yang mau didata dan pendataannya sangat sulit sebab kebanyakan diantara mereka banyak yang berpindah-pindah tempat untuk menggepeng. Gepeng khususnya pengemis kebanyakan musiman dan hal ini terjadi pada bulan ramadhan, banyak pengemis yang berkeliaran untuk meminta-minta, sehingga data gepeng yang ada di dinas terkait tidak valid. Berdasarkan penuturan bapak Wirabuana.
“setiap kali kami melakukan pendataan terhadap gepeng tersebut sulit sekali kami menemuka mereka, sebab setiap kami melakukan pendataan mereka selalu menghindar, tidak mau didata kadang juga mereka mangkalnya di tempat yang berbeda-beda, ada yang mangkal di pasar terminal pancor, emperan toko, keliling di rumah penduduk dan masih banyak lagi tempat yang dijadikan sebagai tempat mangkal mereka. Banyak juga yang dari luar Lombok Timur ang datang minta-minta kesini dan ini menjadi tugas kami sebagai pemerintah yang menangani masala ini untuk menertibkannya”  (wawancara 16 desember 2011).
b.         Melakukan razia bagi para gepeng yang masih berkeliaran di jalan
Kepala Dinas STT, Drs. H Sirman menuturkan,
“menghadapi persoalan gepeng yang terdapat di kota Selong sudah berulang kali dilakukan razia dan penertiban dengan melibatkan polisi pamong praja (pol-pp), namun sampai saat ini belum bisa dituntaskan. Setiap mereka tertangkap oleh pol-pp mereka dibawa ke kantor Dinas STT untuk dimintai keterangan mengapa mengemis dan masih mangkal disana, setelah mereka diberikan pengertian mereka diberikan pesangon untuk membuka usaha kecil-kecilan, akan tetapi mereka tetap masih beraktivitas seperti semula dan mereka menolak untuk diberikan pembinaan.” (Corong rakyat 17 Oktober 2011).

Banyak sekali usaha yang telah dilakukan oleh pemerinta untuk menangani masalah gepeng mulai dari pendataan yang mengalami kesulitan dari para gepeng yang enggan mau didata kemudian razia yang bertujuan untuk menertibkan para gepeng pun tidak berhasil sepenuhnya karena pada dasarnya para gepeng tidak mau dibina oleh pemerintah, ada sebagian dari gepeng yang mau dibina oleh pemerintah yang kini berada dalam asuhan pemerintah.      
c.         Melakukan pembinaan dan pelatihan  
Dalam melakukan pembinaan terhadap gepeng, pemerintah daerah kabupaten Lombok Timur melalui Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi terus melakukan  dengan maksimal, hanya saja pemerintah juga masih menemukan banyak kendala termasuk dari gepeng yang bersangkutan, seperti tidak mau didata, tidak mau diberikan pelatihan keterampilan, padahal pemerintah telah memberikan dana bantuan, akan tetapi mereka susah meningalkan kebiasaan mereka itu. Disinilah karakter dan mental ……..Berdasarkan informasi yang peneliti peroleh dari Lalu Wirabuana, mengatakan:
 “gelandangan dan pengemis merupakan masalah sosial yang membutuhkan perhatian yang lebih, dimana mereka harus menanggung beban sosial yang harus dihadapi yaitu: di cemooh oleh orang atau masyarakat dan terpinggirkan. Untuk mengatasi hal-hal ini kami melakukan beberapa usaha yang akan membantu mereka yaitu melakukan pembinaan dan pelatihan kepada para gepeng. ”

Program yang dilakukan pemerintah daerah dalam penanganan gepeng diantaranya yaitu:
1.                   Melakukan pembinaan fisik dan mental.
Pembinaan fisik yang dilakukan yaitu: penerapan hidup sehat dengan berolahraga sedangkan pembinaan mental yang dilakukan yaitu: memberikan penyuluhan dan pemahaman dan nasehat bagaima mereka bisa berhenti meminta-minta dan menggelandang.
2.              Melakukan pelatihan keterampilan.
Disini pemerintah memberikan pelatihan kepada para penyandang masalah kesejahteraan sosial khususnya para gepeng. Pelatihan yang di berikan berupa pelatihan tataboga bagi perempuan dan pelatihan pertukangan/pembangunan untuk para laki-laki.
Berdasarkan data di atas peran pemerintah dalam penanganan gepeng tersebut dilakukan di tempat rehabilitasi yaitu di Panti Sosial Bina Karya (PSBK) berlokasi di Lenek Daya. Panti sosial bina karya merupakan tempat rehabilitasi para PMKS termasuk gelandangan dan pengemis. PSBK sendiri merupakan penampungan PMKS dari semua kabupaten yang ada di NTB, dalam proses pembinaan dilakukan selama 6 bulan dan sudah disediakan asrama untuk tempat tinggal selama dalam masa pembinaan (wawancara 14 Desember 2011).  
Penanggulangan gelandangan dan pengemisan yang meliputi usaha-usaha preventif, represif, rehabilitatif bertujuan agar tidak terjadi pergelandangan dan pengemisan, serta mencegah meluasnya pengaruh akibat pergelandangan dan pengemisan di dalam masyarakat, dan memasyarakatkan kembali gelandangan dan pengemis menjadi anggota masyarakat yang menghayati harga diri, serta memungkinkan pengembangan para gelandangan dan pengemis untuk memiliki kembali kemampuan guna mencapai taraf hidup, kehidupan, dan penghidupan yang layak sesuai dengan harkat martabat manusia.

Kebijakan pemerintah yang pro rakyat sudah sangat lama ditunggu oleh masyarakat kelas bawah, karena tanpa adanya kebijakan pemerintah yang legal dan formal untuk mengatasi masalah-masalah sosial yang ada maka akan sulit untuk di atasi. Kebijakan-kebijakan pemerintah tertuang dalam peraturan perundang-undangan yang ada sekarang ini sesuai dengan UU No. 10 Tahun 2004 terdiri dari UUD 1945, UU/Perpu, PP, Perpres, dan Perda.
Berdasarkan arah kebijakan yang telah ditetapkan dan dijabarkan kedalam kebijakan umum kemudian dijabarkan lagi ke dalam program-program pembangunan berdasarkan lingkup urusan kewenangan satuan kerja perangkat daerah (SKPD). Program-program pembangunan pada masing-masing lingkup urusan merupakan pedoman SKPD dalam menyusun rencana strategis dalam kurun waktu 5 tahun kedepan.
Kebijakan umum dalam masalah sosial juga termuat dalam rencana strategis yang dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Lombok Timur yaitu:
1.         Pemberdayaan fakir miskin, komunitas adat terpencil (KAT) dan penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) lainnya.
2.         Pelayanan dan rehabilitasi kesejahteraan sosial.
3.         Pembinaan anak terlantar.
4.         Pembinaan penyandang cacat dan trauma
5.         Pembinaan panti asuhan/panti jompo.
6.         Pembinaan eks penyandang penyakit sosial (eks narapidana, PSK, narkoba dan penyakit sosial lainnya).
7.         Pemberdayaan kelembagaan kesejahteraan sosial.
Adapun prioritas pembangunan yang akan menjadi sasaran strategis yang telah ditetapkan oleh pemerintah daerah dalam penanganan kemiskinan dan pengangguran melalui penciptaan lapangan kerja, pemberdayaan masyarakat dan pendirian BUMD diantaranya:
a.         Meningkatkannya peran pemerintah daerah serta masyarakat dan swasta dalam kewirausahaan.
b.         Menurunnya jumlah penduduk.
c.         Meningkatnya keluarga sejahtera.
d.        Pemberdayaan fakir miskin, komunitas adat terpencil dan PMKS lainnya.
e.         Pelayanan rehabilitasi kesejahteraan sosial.
f.          Pengembangan dan pembinaan kesejahteraan sosial.
g.         Pemberdayaan kelembagaan kesejahteraan sosial.  
Jadi berdasarkan kebijakan-kebijakan yang diusahakan oleh pemerintah khususnya masalah gelandangan dan pengemis Wirabuana menuturkan:
“Sesungguhnya pemerintah mau menjalan apa saja yang menjadi tugas dari pemerintah itu sendiri, akan tetapi kami terhalang untuk melakukannya terlebih-lebih kalau kita berteori saja mungkin gampang akan tetapi apabila tidak dilengkapi dengan bantuan dana dari pemerintah pusat saya rasa semuanya tidak akan berjalan seperti apa yang telah direncanakan oleh pemerintah. Dalam menangani gepeng ini kami menemukan kendala utama yaitu dana yang terbatas dan sulit mau didata dan ditertibkan” (wawancara, 21 Desember 2011).

Sementara itu Bupati HM Sukiman Azmy mengatakan, pemerintah akan terus berupaya mengurangi angka kemiskinan di daerah ini dengan memberikan bantuan. Terkait dengan hal ini masing-masing satuan kerja perangkat daerah (SKPD) diminta menyusun program kegiatan sesuai skala prioritas dengan memasukkan berbagai program yang menyentuh langsung kepentingan masyarakat.
Dengan cara ini sedikit demi sedikit persoalan kemiskinan di Lombok Timur ini akan bisa diatasi. “Tanpa tindakan nyata mustahil permasalahan tersebut bisa diselesaikan dengan baik,” (Corong Rakyat,…..)
Masyarakat yang masuk kategori miskin di Kabupaten Lombok Timur merupakan yang tertinggi dibandingkan dengan Kabupaten/Kota lain di NTB. “Untuk menekan jumlah penduduk miskin itu perlu segera dicarikan solusi terbaik. Jika dibiarkan maka jumlahnya akan semakin bertambah,”.
Masyarakat Lombok Timur terbanyak dan menggantungkan hidupnya disektor pertanian, karena itu Bupati Sukiman terus mencari jalan keluar terbaik guna mengurangi angka kemiskinan yang masih tinggi. Salah satu upaya yang dilakukan dengan memperbanyak lapangan kerja, baik dibadang industri maupun perdagangan, termasuk memberikan berbagai keterampilan kepada masyarakat.

























BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
1.      KESIMPULAN

Setelah melakukan penelitian di lapangan peneliti menemukan bahwa gepeng di Kota Selong masih ada ditemukan di emperan toko, perumahan/perkampungan bahkan ada juga di taman kota selong. Latar belakang mereka melakukan pekerjaan sebagai gepeng karena dasar kemiskinan/ekonomi, pendidikan yang rendah sehingga tidak dapat diserap oleh lapangan pekerjaan selain itu juga kurangnya keterampilan/skill yang mereka miliki atas dasar itu pemerintah melakukan dan mengagendakan program-program sebagai bentuk dari keterpedulian pemerintah terhadap PMKS terutama gepeng. Peran pemerintah disini adalah melakukan pendataan yang bisa memudahkan gepeng tersebut untuk dibina, akan tetapi pendataan yang dilakukan mengalami kesulitan karena gepeng enggan mau didata, tidak hanya itu pemerintah melakukan penertiban yang merupakan bentuk estapet dari pendataan yang dilakukan akan tetapi mereka setiap kali dirazia tidak mau ikut karena mereka malas berurusan dengan pemerintah dan tidak mau dibina langkah selanjutnya  memberikan pembinaan dan pelatihan dipanti rehabilitasi yaitu panti sosial bina karya (PSBK) kepada para penyandang masalah kesejahteraan sosial yang ada di Kabupaten Lombok Timur kemudian mereka di bekali dengan keterampilan pembangunan/pertukangan untuk laki-laki dan tata boga untuk para perempuan, hal ini diharapkan oleh pemerintah agar pembinaan dan pelatihan yang diberikan dapat bermanfaat bagi para penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) agar selepas dari panti sosial bina karya (PSBK) mereka bisa mandiri dan tidak meminta-minta dan menggelandang lagi.


2.      SARAN-SARAN
Kepada pemerintah daerah Lombok Timur yang lebih penting dalam peran pemerintah daerah dalam penanganan gelandangan dan pengemis itu sendiri harus bersungguh-sungguh dan meningkatkan kinerja dalam memberikan pembinaan dan pelatihan bagi para gepeng sehingga memiliki keterampilan/skill yang bisa mereka kembangkan sebagai modal mereka untuk mandiri sehingga dapat membantu unutuk memenuhi kebutuhan perekonomian mereka dan tidak menggepeng lagi.  






















DAFTAR PUSTAKA

Hartomo dan Aziz Aricun (1990), Ilmu Sosial Dasar, Jakarta: Bumi Aksara.
Moleong, Lexy J (2006), Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya Offset.
Mudradjad, Kucoro (2006), Ekonomi Pembangunan Teori Edisi 4 (Masalah dan Kebijakan), Yogyakarta: Unit Penerbit dan Percetakan (UPP) STIM YKPN
Muhammad, Abdulkadir (2005), Ilmu Sosial Budaya Dasar, Bandung: Citra Aditya Bakti.
Munir, Muhammad (2009), himpunan peraturan daerah Lombok Timur tahun 2009 (7 peraturan daerah)
Riyanto, Rabbah (2005), Kekuasaan Untuk Rakyat, Mataram: Mahani Persada.
Salim , Emil (1998), Perencanaan Pembangunan dan Pemerataan, Jakarta: Inti Indayu.
Sangadji, Etta Mamang dan Sopiah (2010), Metodologi Penelitian Pendekatan Praktis Dalam Penelitian, Yogyakarta: Andi
Soekanto, Soerdjono (1990), Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali.
Sugiyono (2009), Metode Penelitian Pendidikan (Pendekata Kuantitatif,  Kualitatif dan R & D), Bandung: Alfabeta.
Suharto, Edi (2005), Analisis Kebijakan Publik, Bandung: Alfabeta.
Surjani, Muhammad (1986), Lingkungan: Sumber Daya Alam dan Kependudukan  Dalam Pembangunan, Jakarta: Bumi Aksara.
Usman, Husaini dan Akbar, Purnomo Setiady (2009), Metodologi Penelitian Sosial, Jakarta: Bumi Aksara.
Usman, Sunyoto (2004), Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Wangsa, Mara Satria (2007), Membangun Manusia Indonesia, Jakarta: Intisari Mediatama.