Search This Blog

Thursday, June 7, 2012

skripsi tentang manfaat masker di RSUD


BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Insidensi Tuberculosis (TBC) dilaporkan meningkat secara drastis pada dekade terakhir ini di seluruh dunia termasuk juga di Indonesia. Penyakit ini biasanya banyak terjadi pada negara berkembang atau yang mempunyai tingkat sosial ekonomi menengah ke bawah. Tuberculosis (TBC) merupakan penyakit infeksi penyebab kematian dengan urutan atas atau angka kematian (mortalitas) tinggi, angka kejadian penyakit (morbiditas), diagnosis dan terapi yang cukup lama.
Tuberkulosis merupakan penyakit yang sangat infeksius. Seorang penderita TBC dapat menularkan penyakit kepada 10 orang di sekitarnya. Menurut perkiraan WHO, 1/3 penduduk dunia saat ini telah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis. Kabar baiknya adalah orang yang terinfeksi Mycobacterium tuberculosis tidak selalu menderita penyakit TBC. Dalam hal ini, imunitas tubuh sangat berperan untuk membatasi infeksi sehingga tidak bermanifestasi menjadi penyakit TBC.
Berdasarkan hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) menunjukkan bahwa penyakit TBC merupakan penyebab kematian ketiga terbanyak setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit saluran pernapasan pada semua kelompok umur dan nomor satu dari golongan penyakit infeksi.
Banyak faktor yang menyebabkan ketidak berhasilan dalam pencegahan TBC antara lain ketidak patuhan keluarga  penderita dalam menggunakan alat pelindung diri (masker) yang merupakan masalah utama yang dihadapi oleh para pemegang program di unit pelaksanaan pelayanan kesehatan.
Peningkatan jumlah penderita TB disebabkan oleh berbagai faktor, yakni kurangnya tingkat kepatuhan keluarga penderita dalam menggunakan alat pelindung diri  (masker), harga obat yang mahal, timbul resistensi ganda, kurangnya daya tahan hospes terhadap mikobakteria, berkurangnya daya bakterisid obat yang ada, meningkatnya kasus HIV/AIDS dan krisis ekonomi.
Kepatuhan merupakan bagian dari prilaku individu yang bersangkutan untuk mentaati atau mematuhi sesuatu, sehingga kepatuhan keluarga dalam menggunakan alat pelindung diri (masker) tergantung dari prilaku individu keluarga itu sendiri. Prilaku kepatuhan dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor yang mempengaruhi kepatuhan dapat di kategorikan berdasarkan  karakteristik keluarga itu sendiri (umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, persepsi dan motivasi).
Meskipun berbagai upaya dilakukan oleh pemerintah, namun tanpa peran serta keluarga tentunya tidak akan dicapai hasil yang optimal karena TB tidak hanya masalah kesehatan namun juga merupakan masalah sosial. Mengingat pentingnya karakteristik keluarga dalam mendorong tingkat kesadaran dan partisipasi keluarga, maka penulis tertarik untuk meneliti tentang hubungan karakteristik keluarga pasien tuberkulosis  dengan kepatuhan menggunakan alat pelindung diri (masker) di ruang interna RSUD Dr. R. SOEDJONO Selong.

B.  Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas maka dapat dirumuskan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut “Apakah ada hubungan karakteristik  keluarga pasien tuberkulosis dengan kepatuhan menggunakan alat pelindung diri (masker) di ruang interna  RSUD Dr. R. SOEDJONO Selong”
C.  Tujuan Penelitian
1.    Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan karakteristik keluarga pasien tuberkulosis dengan kepatuhan menggunakan alat pelindung diri (masker) di ruang interna  RSUD Dr. R. SOEDJONO Selong.
2.    Tujuan Khusus
Ada beberapa tujuan khusus yang ingin dicapai yaitu
a.  Mengidentifikasi karakteristik keluarga pasien tuberkulosis di ruang interna  RSUD Dr. R. SOEDJONO Selong.
b.  Mengidentifikasi kepatuhan menggunakan alat pelindung diri (masker) di ruang interna  RSUD Dr. R. SOEDJONO Selong.
c.  Menganalisis  hubungan karakteristik keluarga pasien tuberkulosis dengan kepatuhan menggunakan alat pelindung diri (masker) di ruang interna  RSUD Dr. R. SOEDJONO Selong.
D.  Manfaat Penelitian
Dari penelitian ini diharapkan dapat diperoleh manfaat sebagai berikut
1.    Peneliti
Menambah pengetahuan, wawasan, pengalaman serta keterampilan lapangan dalam penelitian khususnya dalam melaksanakan kegiatan pencegahan penyakit TB.
2.    Institusi
Dapat memberikan informasi bagi institusi kesehatan tentang hal-hal yang mendorong kepatuhan keluarga penderita TB untuk menggunakan alat pelindung diri (masker) sehingga institusi dapat menyusun kembali program untuk membrantas penyakit TB bagi keluarga dan masyarakat. Dapat menambah kepustakaan bagi institusi pendidikan kesehatan khususnya Sekolah Tinggi Kesehatan Mataram Program (A) , sehingga dapat menambah wawasan dan  pengetahuan bagi mahasiswa yang lain.
3.    Peneliti lain
    Hasil penelitian ini di harapkan dapat memberikan imformasi bagi pembaca dan peneliti berikutnya.

4.    Keluarga
Menambah wawasan bagi keluarga tentang hal—hal yang dapat menimbulkan penyakit TB dan menginformasikan bahwa penyakit TB itu dapat disembuhkan.

E.  Keaslian Penelitian
Penelitian serupa pernah dilakukan oleh Rusherina (2010) dengan judul “Determinan Penggunaan Alat Pelindung Diri Pada Pengawas Menelan Obat Di Pekan Baru” desain penelitian study kuantitatif, dan hasil penelitian tersebut adalah ada hubungan yang signifikan antara penggunaan APD dengan ketahanan bekerja pengawas minum obat. Jumlah sampel 34 orang, sedangkan analisa data dengan menggunakan uji statistik korelasi pearson produk moment dengan derajat kesalahan 0,05 (spearman rank).
 Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan karakteristik  keluarga pasien tuberkulosis dengan kepatuhan menggunakan alat pelindung diri (masker) di ruang interna RSUD Dr.R.SOEDJONO selong. Desain penelitian yang digunakan adalah deskriptif dengan menggunakan pendekatan cross sectional  jumlah sampel 30 orang, sedangkan analisa data dengan menggunakan chi square (dengan derajat kesalahan 0,05).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.  Konsep Dasar Karakteristik
Karakteristik merupakan ciri-ciri manusia (Azrul Azwar, 1999). Macam-macam karakteristik manusia :
1.  Umur
Umur adalah usia individu yang terhitung mulai saat lahir, sampai saat berulang tahun. Semakin cukup usia, tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berfikir dan bekerja. Dari segi kepercayaan masyarakat, seorang yang lebih dewasa akan lebih dipercaya dari orang yang belum cukup dewasa (Nursalam & Siti Pariani, 2001).
Menurut Koesoemato Setyonegoro, umur dapat di bagi menjadi :
a.  Usia dewasa muda (Elderly Adulhood) = 18/20-25
 tahun.
b.  2) Usia dewasa penuh (Middle Years) = 26-60/65 tahun (Mutiara Erna, 2003)
2.  Golongan etnik
Penyebaran masalah kesehatan juga tergantung dari golongan etnik yang dimiliki. Adapun yang dimaksud dengan golongan etnik ialah sekelompok manusia dalam suatu populasi yang memiliki kebiasaan atau sifat biologis yang sama (Azrul Azwar, 1999).
Berbagai golongan etnik dapat berbeda didalam kebiasaan makan, susunan genetika, gaya hidup dan sebagainya yang dapat mengakibatkan perbedaan didalam angka kesakitan atau kematian (Notoatmodjo S, 2007)
3.  Agama
Pengaruh agama terhadap penyebaran masalah kesehatan juga berperan besar. Kebiasaan-kebiasaan tertentu yang dimiliki oleh agama tertentu memang mempengaruhi corak perilaku yang diperlihatkan, yang kesemuanya turut menentukan penyakit yang diderita. (Azrul Azwar, 1999)
4.  Status perkawinan
   Yang dimaksud dengan perkawinan disini bukan               menunjuk kepada antara jejaka atau perawan melainkan merupakan persekutuan antara dua jenis kelamin yang berbeda dalam bentuk keluarga (suami, istri, anak- anak).
Status perkawinan ini sering dibedakan atas empat macam yakni :
a.  Belum menikah/belum kawin.
b.  Menikah/kawin.
c.  Cerai hidup.
d.  Cerai mati.
Ditinjau dari sudut epidemiologi, status perkawinan ini ternyata juga mempengaruhi penyebaran masalah kesehatan, karena memang pola perilaku kalangan yang belum menikah berbeda dengan kalangan yang sudah menikah (Azrul Azwar, 1999 : 96). Seseorang yang telah menikah akan lebih mempunyai rasa percaya diri dan ketenangan dalam melakukan kegiatan, karena mereka pernah mengalami menjadi bagian keluarga, maupun sebagai anggota dari masyarakat, sehingga diharapkan dapat memahami keberadaannya (Nursalam & Siti Pariani, 2001).
5.  Pendidikan
Dalam kamus bahasa Indonesia kontemporer, dinyatakan bahwa pendidikan merupakan suatu proses pengubahan cara berfikir atau tingkah laku dengan cara pengajaran, penyuluhan dan penelitian.
Pendidikan seseorang merupakan salah satu proses perubahan tingkah laku, semakin tinggi pendidikan seseorang. Makin mudah menerima imformasi sehingga makin banyak pula pengetahuan yang dimiliki. Sebaiknya pendidikan yang kurang akan menghambat perkembangan sikap seseorang terhadap nilai-nilai yang baru di perkenalkan(kuncoroningrat, 1997).
6.  Pekerjaan





B.KONSEP DASAR KELUARGA
1. Pengertian.
Departemen Kesehatan RI (1988) Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang berkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah satu atap dalam keadaan saling ketergantungan.
Salvician G Bailon dan Aracelis Maglaya, 1989 (dikutip oleh Nasrul Effendi, 1998) Keluarga adalah dua orang atau lebih dari dua individu yang tergabung karena hubungan darah, perkawinan atau pengangkatan dan mereka hidup dalam suatu rumah tangga, berinteraksi satu sama lain dan di dalam perannya masing-masing, menciptakan serta mempertahankan kebudayaan.
2. Struktur Keluarga
Struktur keluarga terdiri dari bermacam-macam diantaranya adalah :
a.   Patrilineal : adalah keluarga sedarah yang terdiri dari sanak saudara sedarah dalam beberapa generasi, dimana hubungan itu disusun melalui jalur garis ayah.
b.   Matrilineal : adalah keluarga sedarah yang terdiri dari sanak saudara sedarah dalam beberapa generasi, dimana hubungan itu disusun melalui jalur garis ibu.
c.   Matrilokal : adalah sepasang suami istri yang tinggal bersama keluarga sedarah istri.
d.   Patrilokal : adalah sepasang suami istri yang tinggal bersama keluarga sedarah suami.
3. Tipe / Bentuk Keluarga
a.   Keluarga inti (nuclear family) adalah keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak.
b.   Keluarga besar (ekstended family) adalah keluarga inti ditambah dengan sanak saudara, misalnya nenek, kakek, keponakan, saudara sepupu, paman, bibi dan sebagainya.
c.   Keluarga Berantai (Serial Family), adalah keluarga yang terdiri dari wanita dan pria yang menikah lebih dari 1 kal dan merupakan satukeluarga inti.
d.   Keluarga Duda/Janda (Single Family), adalah   keluarga yang terjadikarena perceraian atau kematian.
e.   Keluarga Berkomposisi (Composite), adalah   keluarga yang perkawinannya berpoligami dan hidup secara bersama.
f.   Keluarga Kabitas (Cahabitation), adalah dua    orang yang menjadi satu tanpa pernikahan tetapi membentuk suatu keluarga.
  
  

4. Peranan Keluarga
Berbagai peranan yang terdapat dalam keluarga adalah sebagai berikut :
a.   Peranan ayah : ayah sebagai suami dari istri dan anak-anak, berperan mencari nafkah, pendidik, pelindung dan pemberi rasa aman, sebagai kepala keluarga, sebagai anggota dari kelompok sosialnya serta sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya.
b.   Peranan ibu : sebagai istri dan ibu dari anak-anaknya, ibu mempunyai peranan untuk mengurus rumah tangga, sebagai pengasuh dan pendidik anak-anaknya, pelindung dan sebagai salah satu anggota kelompok dari peranan sosialnya.
c.   Peranan anak : anak-anak melaksanakan peranan psikososialnya sesuai dengan tingkat pekembangannya baik fisik, mental, sosial dan spiritual.
5. Tugas-Tugas Keluarga
Pada dasarnya ada 8 tugas pokok keluarga yaitu :
a.   Pemeliharaan fisik keluarga dan para anggotanya.
b.   Pemeliharaan sumber-sumber daya yang ada dalam keluarga
c.   Pembagian tugas masing-masing anggotanya sesuai dengan kedudukannya masing-masing.
d.   Sosialisasi dengan anggota keluarga
e.   Pengaturan jumlah anggota keluarga
f.   Pemeliharaan ketertiban anggota keluarga
g.   Penempatan anggota-anggota keluarga dalam masyarakat yang lebih luas
h.   Membangkitkan dorongan dan semangat para anggota keluarga.

B.  Konsep Dasar Kepatuhan
1. Pengertian Kepatuhan
Safarino (1994), kepatuhan didefinisikan sebagai ketaatan melaksanakan sesuatu yang sudah ditetapkan bersama,sedangkan (sackett,2002) mendefinisikan kepatuhan sebagai sejauh mana prilaku seseorang atau pasien sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh profesional kesehatan.
2. Pengukuran Perilaku Kepatuhan
Ketidakpatuhan sulit dianalisa, karena sulit untuk didefinisikan, sulit diukur dan tergantung banyak faktor. Metode-metode untuk mengukur sejauh mana para pasien mematuhi nasehat dokter dengan baik meliputi laporan pasien, laporan dokter, perhitungan pil dan botol, tes darah dan urine, alat-alat mekanis, observasi langsung, hasil pengobatan (La Greca, 1988; Sarafino, 190; Ley, 1992,dalam Bart Smet). Untuk mengetahui kepatuhan atau ketaatan dapat dilakukan dengan wawancara dengan kuesioner dan observasi, jawaban seluruh responden dikelompokkan menjadi jawaban “Ya” dan “Tidak” kemudian dijumlahkan. Selanjutnya diolah dengan cara jumlah jawaban “Ya” dibagi jumlah jawaban “Ya” ditambah jawaban “Tidak” dikali 100 %. Apabila hasil > 90 % dikatakan memiliki kepatuhan kurang (Departemen Kesehatan RI, 1995).
3. Faktor yang berhubungan dengan kepatuhan
Riset berusaha untuk mengidentifikasi kelompok-kelompok keluarga yang tidak patuh/taat berdasarkan kelas sosial ekonomi, pendidikan, umur dan jenis kelamin. Usaha-usaha ini sedikit berhasil, setiap orang menjadi tidak patuh/taat kalau situasi memungkinkan setiap orang dapat menjadi tidak patuh kalau situasi memungkinkan (Schwartz dan Griffin, 1996 dalam Bart Smet).
Dalam literatur, macam-macam faktor yang berkaitan dengan kepatuhan, yaitu sebagai berikut:
a.    Ciri-ciri kesakitan dan ciri-ciri pengobatan
Perilaku kepatuhan lebih rendah untuk penyakit kronis karena tidak ada akibat buruk yang dirasakan atau resiko yang jelas, saran mengenai gaya hidup umum dan kebiasaan yang lama, pengobatan yang kompleks, pengobatan dengan efek samping, perilaku yang tidak pantas (Dickson dkk, 1989; Sarafino, 1990; Ley, 1992 dalam Bart Smet).


b.    Komunikasi antar pasien dengan petugas kesehatan
Berbagai aspek termasuk komunikasi antara pasien dengan petugas kesehatan mempengaruhi tingkat kepatuhan, misalnya informasi dan pengawasan yang kurang, ketidakpuasan terhadap aspek emosional dengan petugas kesehatan, ketidakpuasan terhadap pengobatan yang diberikan (Schwartz dan Griffin, 1986 dalam Bart Smet). Frekwensi pengawasan, dukungan atau tindak lanjutan juga cukup penting (Dickson dkk, 1989; Ley, 1992 dalam Bart Smet).
Hubungan kepuasan dan kepatuhan telah banyak diteliti. Model kognitif yang menjelaskan hubungan antara pengertian, ingatan, kepuasan dengan perilaku kepatuhan keluarga.
c.    Persepsi dan pengharapan pasien
Variabel-variabel dan “health behavior model”: adherence sebagai fungsi dan keyakinan-keyakinan tentang kesehatan, ancaman yang dirasakan, persepsi kekebalan, pertimbangan mengenai hambatan/ kerugian (biaya, waktu) dan keuntungan (efektivitas pengobatan). Decision theory : Janis (1985 dalam Bart Smet) menganggap pasien sebagai pengambil keputusan, dan kepatuhan sebagai proses pengambilan keputusan. Hal ini tercermin dalam Conflict Theory dan Janis Mann 1977 (Bart Smet, 1994). Teori mi mencerminkan pendapat umum, yang baru dimulai tahun 1950-an, bahwa pasien sendiri yang harus memutuskan apakah mereka akan menjalani operasi, dan oleh karena itu, seharusnya diberitahu sebaik-baiknya mengenai prosedurnya, resiko dan efektivitas pengobatan agar mereka bisa mengambil keputusan yang tepat.
Kleinman mengatakan bahwa perbedaan dalam model eksplanaori antara petugas kesehatan dengan pasien akan menentukan tingkat kepatuhan (Bart Smet, 1994).
d.    Dukungan sosial
Hubungan antara dukungan soial dengan kepatuhan telah dipelajari secara luas. Secara umum orang-orang yang merasä mereka menerima penghiburan, perhatian dan pertolongan yang mereka butuhkan dan seseorang atau kelompok biasanya cenderung lebih mudah mengikuti nasehat medis daripada pasien yang kurang mendapat dukungan sosial merupakan variabel yang penting, salah satunya adalah keluarga, yang tidak hanya berperan penting pada kepatuhan anak-anak tetapi juga pada orang dewasa. Contohnya keluarga menggunakan pengaruh normatif, pada pasien mungkin mengakibatkan efek yang memudahkan atau menghambat perilaku kepatuhan.
Hal lain yang mempengaruhi ketaatan adalah sikap terhdap sistem perawatan kesehatan dan khususnya terhadap para tenaga kesehatan. Ketidakpercayaan terhadap beberapa obat atau sebaliknya kepercayaan dilebih-lebihkan akan mempengaruhi perilaku kepatuhan.
e.    Meningkatkan kepatuhan
Berbagai strategi telah dilakukan untuk meningkatkan kepatuhan seperti meningkatkan keterampilan komunikasi para petugas kesehatan, memberikan informasi pada pasien mengenai penyakit dan pengobatannya, pendekatan perilaku, dan keterlibatan lingkungan sosial (misalnya keluarganya).

C.  Konsep Penyakit Tuberkulosis Paru
1. Definisi
Tuberculosis paru merupakan penyakit- infeksi kronis pada jaringan paru, yang disebabkan oleh basil tuberkel (Mycobacterium Tuberculosis). Penyakit mi terjadi di seluruh dunia terutama di negara-negara tropis, tetapi di Amerika Serikat dan negara-negara Eropa kejadiannya sudah jarang karena peningkatan hygiene dan sanitasi lingkungan (Frenkel. M, etc., 1985).
Misnandiarly (2006) menulis bahwa orang yang pertama kali dapat menbuktikan bahwa tuberculosis adalah suatu penyakit yang dapat ditularkan adalah Villamin yang hidup pada tahun 1827 — 1894. Robert Kock pada 1882 secara meyakinkan telah dapat memberikan bukti bahwa tuberculosis adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri yang bernama mycobacterium tuberculosis. Menurut Robbins (1957) tuberculosis adalah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh mycobacterium tuberculosa, dan biasa terdapat pada paru—paru, tetapi mungkin juga pada organ lain seperti nodus IympHa ticus.
Menurut Depkes RI (2005) tuberculosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya.
2. Penyebab
Penyebab penyakit tuberculosis paru adalah kuman mycobacterium tuberculosis. Kuman ini termasuk basil gram positif berbentuk batang, dinding selnya mengandung komplek lipidaglikolipida serta him (wax) yang sulit ditembus zat kimia. Mempunyai sifat khusus yakni tahan asam pada pewarnaan, hal ini dipakai untuk identifikasi dahak secara mikroskopis, sehingga disebut Basil Tahan Asam (BTA). Mycobacterium tuberculosis cepat mati dengan matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup pada tempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh kuman dapat dormant (tertidur sampai beberapa tahun). TB timbul berdasarkan kemampuannya untuk memperbanyak diri di dalam sel— sel fagosit (Depkes RI, Ditjen Bina Famasi dan Alkes : hal. 4. 2005).
3. Proses  Penularan
Sumber penularan adalah penderita TB BTA positif. Pada waktu batuk atau bersih, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup ke dalam saluran pernapasan. Setelah kuman TB masuk ke dalam tubuh manusia melalui pernapasan, kuman TB tersebut dapat menyebar dan paru ke bagian tubuh lainnya, melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran nafas atau penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya.
Daya penularan dan seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dan paru. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin menular penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif (tidak terlihat kuman), maka penderita tersebut dianggap tidak menular. Kemungkinan seseorang terinfeksi TB ditentukan oleh konsentrasi droplet dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut (Depkes RI, 2005).
Misnadiarty (2006) mengatakan cara penularan TB adalah sumber penularan adalah penderita yang dahaknya mengandung kuman, menular melalui udara bila penderita batuk, bersin dan berbicara, penularan terjadi bila orang menghirup kuman TB, dapat menyerang siapa saja (laki—laki, perempuan, tua, muda, miskin, kaya) terutama yang tinggal di dalam rumah yang gelap, lembab, dan ventilasi udara yang tidak baik.
4. Riwayat Terjadinya Tuberculosis
a.   Infeksi Primer
Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman TB. Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga dapat melewati sistem pertahanan mukosilier bronkus, dan terus berjalan sehingga sampai di alveolus dan menetap di sana. Infeksi dimulai saat kuman TB berhasil berkembang biak dengan cara pembelahan diri di paru, yang mengakibatkan peradangan di dalam paru. Saluran limfe akan membawa kuman TB ke kelenjar limfe di sekitar hilus paru, dan ini disebut sebagai kompleks primer. Waktu antara terjadinya infeksi sampai pembentukan kompleks primer adalah sekitar 4 - 6 minggu. Adanya infeksi dapat dibuktikan dengan terjadinya perubahan reaksi tuberculin dari negatif menjadi positif.
Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung dan banyaknya kuman yang masuk dan besarnya respon daya tahan tubuh (imunitas seluler). Pada umumnya reaksi daya tahan tubuh tersebut dapat menghentikan perkembangan kuman TB. Meskipun demikian, ada beberapa kuman yang akan menetap sebagai kuman persister atau dormant (tidur). Kadang-kadang daya tahan tubuh tidak mampu menghentikan perkembangan kuman, akibatnya dalam beberapa bulan, yang bersangkutan akan menjadi penderita TB. Masa inkubasi yaitu waktu yang diperlukan mulai terinfeksi sampai menjadi sakit, diperkirakan sekitar 6 bulan.
b.   Tuberkulosis Pasca Primer (Post Primary TB)
Tuberculosis pasca primer biasanya terjadi setelah beberap bulan atau tahun sesudah infeksi primer, misalnya daya tahan tubuh menurun akibat terinfeksi HIV atau status gizi buruk. Ciri khas dari tuberculosis pasca primer adalah kerusakan paru yang luas dengan terjadinya kavitas atau efusi pleura (Iepkes RI, 2005).



5. Gejala
Gejala tuberculosis paru menurut Depkes RI (2005) terbagi dalam
a.   Gejala utama
Batuk terus menerus dan berdahak selama 3 (tiga) minggu atau lebih.
b.   Gejala tambahan, yang sering dijumpai
1)  Dahak bercampur darah
2)  Batuk darah
3)  Sesak nafas dan rasa nyeri dada
4)  Badan lemah, rasa kurang enak badan (malaise)
5)  Nafsu makan menurun, berat badan turun
6)  Berkeringat malam walau tanpa kegiatan, demam meriang lebih dari sebulan.
6. Klasifikasi tuberkulosis
Berdasarkan tempat/organ yang diserang oleh kuman, maka tuberkulosis dibedakan menjadi (Depkes RI, Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2005 dan Misnadiarty, 2006):
a.   Tuberkulosis paru
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan parenchyma paru, tidak termasuk pleura (selaput paru). Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak, TB paru dibagi dalam :
1)  Tuberkulosis paru BTA positif
a)    Sekurang-kurangnya 2 sampai 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.
b)    1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto rontgent menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif.
2)  Tuberkulosis paru BTA negatif Pemeriksaan 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif dan foto rontgent dada menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif. TB paru BTA negatif rontgent positif dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk berat bila gambaran foto rontgent dada memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang luas (misalnya proses faraverced dan millier), dan/atau keadaan umum penderita buruk.
b.   Tubeku1osis ekstra paru
Tuberkulosis ekstra paru adalah tuberkulosis yang menyerang organ lain selain paru, misalnya TB milier, system saraf pusat, empyema dan bronkhopleura fistula, perikarditis, skelet, genitourinary, gastrointestinal, peritonitis  lymphadenitis, , cutan, laringitis, otitis. TB ekstra paru tingkat keparahan,  dibagi berdasarkan  tingkat keparahan penyakitnya, yaitu
1)  TB Ekstra paru ringan, Misalnya : TB kelenjar limphe, pleuritis  eksudativa unilateral, skelet (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal.
2)  TB ekstra paru berat, Misalnya: meningitis, mellier, perikarditis, peritonitis, pleuritis eksudativa duplex, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kencing dan alat kelamin.
7. Diagnosa
Penentuan diagnosis pada penderita TB menurut Depks RI (2005) dapat dikiasifikasikan sebagai berikut
a.  Diagnosis tuberkulosis pada orang dewasa
Diagnosa pada TB paru pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan ditemukannya BTA pada pemeriksaan dahak secara mikroskopik. Hasil pemeriksaan dinyatakan positif apabila setidaknya 2 dan 3 spesimen SPS BTA hasilnya positif. Bila hanya 1 spesimen yang positif perlu diadakan pemeriksaan lebih lanjut yaitu foto rontgent dada atau pemeriksaan dahak SPS diulang.
1)  Kalau hasil rontgent mendukung TB, maka penderita didiagnosis sebagai penderita TB, BTA positif.
2)  Kalau hasil rontgent tidak mendukung TB, maka pemeriksaan dahak  SPS diulangi.
3)  Apabila fasilitas memungkinkan maka dapat dilakukan pemeriksaan lain, misalnya.
4)  Bila ketiga spesimen dahak hasilnya negatif, diberikan antibiotika spektrum luas (misalnya kontrimoksosal dan amoksisillin) selama 1 — 2 minggu. Bila tidak ada perubahan, nanun gejala klinis tetap mencurigakan TB, ulangi pemeriksaan dahak SPS.
a)  Kalau hasil SPS positif, didiagnosis sebagai penderita TB BTA positif.
b)  Kalau hasil SPS tetap negatif, lakukan pemeriksaan foto rontgent dada, untuk mendukung diagnosis TB.
(1)  Bila hasil rontgent mendukung TB, didiagnosis sebagai penderita TB BTA negatif rontgent positif.
(2)  Bila hasil rontgent tidak mendukung TB, penderita tersebut bukan TB.
5)  Di Indonesia pada saat ini, uji tuberkulin tidak mempunyai arti dalam mendukung diagnosis TB pada orang dewasa, sebab sebagian besar masyarakat sudah terinfeksi dengan mycobacterium tuberculosis karena tingginya prevalensi TB. Suatu uji tuberculin positif hanya menunjukkan bahwa yang bersangkutan pernah terpapar dengan mycobacterium tuberculosis. Di lain pihak, hasil uji tuberculin dapat negatif meskipun orang trsebut menderita tuberculosis, misaknya pada penderita

Gambar 2.1.
Alur Diagnosis Tuberkulosis Paru Pada Orang Dewasa
















b.  Diagnosis tuberkulosis pada anak
Riwayat alamiah dan ekspresi klinis dan infeksi mycobacterium tuberculosis dibedakan secara substansi antara anak dibandingkan dewasa tua. Secara alami umur dan infeksi serta status imun dan individu/penjamu. Anak-anak prioritas pada usia 4 tahun punya resiko angka yang tinggi dan akan berkembang dalam klinis atau manifestasi radiologis atau keduanya.
Tuberkulosis termasuk salah satu mayoritas penyakit yang menyerang anak di dunia. Akan tetapi jumlah kasus secara akurat dan anak yang tuberkulosis belum diketahui. WHO memperkirakan ada 1 juta kasus baru dan 400 kematian anak dengan TB pertahun (Misnadiarty, 2006)
Diagnosa paling tepat adalah dengan ditemukannya kuman TB dan bahan yang diambil dan penderita, misalnya dahak, bilasan lambung, biopsy dan lain-lain. Tetapi pada anak hal ini sulit dan jarang didapat, ,sehingga sebagian besar diagnosa TB anak didasarkan atas gambaran klinis, gambaran foto rontgent dada dan uji tuberkulin. Untuk itu penting memikirkan adanya TB pada anak kalau terdapat tanda-tanda yang mencurigakan atau gejala—gejala seperti dibawah ini
1)  Seorang anak harus dicurigai menderita tuberkulosis kalau
a)  Mempunyai sejarah kontak erat (serumah) dengan penderita TB BTA positif.
b)  Terdapat reaksi kemerahan cepat setelah penyuntikan BCG (dalam 3-7 han)
c)  Terdapat geala umum TB
2)  Gejala umum TB pada anak
a)  Berat badan turun selama 3 bulan berturut— turut tanpa sebab yang jelas dan tidak naik dalam 1 bulan meskipün sudah dengan penanganan gizi yang baik (failure tothrive).
b)  Nafsu makan tidak ada (anoreksia) dengan gagal tumbuh dan berat badan tidak naik (failure to thrive) dengan adekuat.
c)  Demam lama/berulang tanpa sebab yang jelas (bukan tifus, malaria atau infeksi saluran napas akut), dapat disertai keringat malam.
d)  Pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang tidak sakit, biasanya multifel, paling sering di daerah leher, ketiak dan lipatan paha (inguinal).
e)  Gejala-gejala dari saluran napas, misalnya batuk lama lebih dan 30 hari (setelah di singkirkan sebab lain dari batuk), tanda cairan di dada dan nyeri dada.
f)  Gejala-gejala dari saluran cerna, misalnya diare berulang yang tidak sembuh dengan pengobatan diare, benjolan (massa) di abdomen, dan tanda-tanda cairan dalam abdomen.
3)  Gejala spesifik
Gejala-gejala ini biasanya tergantung pada bagian tubuh mana yang terserang, misalnya :
a)  TB kulit / skrofuloderma
b)  TB tulang dan sendi
(1)Tulang punggung (spondilitis) ; gibbus
(2) Tulang panggul (koksitis) : pincang, pembengkakan di pinggul.
(3)Tulang lutut : pincang dan atau bengkak
(4)Tulang kaki dan tangan
c)  TB otak dan saraf
Meningitis : dengan gejala iritabel, kaku kuduk, muntah—muntah dan kesadaran menurun.
d)  Gejala mata
(1)    Konjungtivitis fliktenularis
(2)    Tuberkel koroid (hanya terlihat dengan funduskopi)
4)  Uji tuberkulin (Mantoux)
Uji tuberkulin dilakukan dengan cara mantoux (penyuntikan intrakutan) dengan semprit tuberkulin 1 cc jarum no 26. pembacaan dilakukan 48 - 72 jam setelah penyuntikan. Diukur diameter transversal dan indurasi yang terjadi. Ukuran dinyatakan dalam milimeter. Uji tuberkulin positif bila indurasi > 10 mm (pada gizi baik), atau > 5 pada gizi buruk. Bila uji tuberkulin positif, menunjukkan adanya infeksi TB dan kemungkinan ada TB aktif pada anak. Namun, uji tuberculin dapat negatif pada anak TB berat dengan malnutrisi, penyakit sangat berat, pemberian imunosupresif dan lain—lain. Jika uji tuberculin meragukan dilakukan uji ulang.
5)  Reaksi cepat BCG
Bila dalam penyuntikan BCG terjadi reaksi cepat (dalam 3- 7 hari) berupa kemerahan dan indurasi > 5 mm, maka anak tersebut dicurigai telah terinfeksi mycobacterium tuberculosis.
6)  Foto rontgent dada
Gambaran rontgent TB paru pada anak tidak khas dan interpretasi foto biasanya sulit, harus hati-hati, kemungkinan bisa overdiagnosis atau underdiagnosis. Paling mungkin kalau ditemukan infiltrat dengan pembesaran kelenjar hilus atau kelenjar paratralceal. Gejala lain dan foto rontgent yang mencurigai TB adalah :
a)    Millier
b)    Ateleictasis I kolaps konsolidasi
c)    Infiltrat dengan pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal
d)    Konsolidasi (lobus)
e)    Reaksi pleura dan atau efusi pleura
f)    Kalsifilkasi
g)    BrOnkiektasis
h)     Kavitas
i)    Destroyed lung
Bila ada diskong reunsi antara gambaran klinis dan gambaran rontgent, harus dicurigai TB, foto rontgent dada sebaiknya dilakukan PA (Posteoro—Anterior) dan lateral.
7)  Pemeriksaan mikrobiologi dan serologi
Pemeriksaan BTA secara mikroskopik langsung pada anak biasanya dilakukan dari bilasan lambung karena dahak sulit didapat pada anak. Pemeriksaan BTA secara biakan (kultur memerlukan waktu yang lama). Cara baru untuk mendeteksi kuman TB dengan cara PCR (polymery chain reaction) atau bactec masih belum dipakai dalam klinis praktis. Demikian juga pemeriksaan serologis seperti ELISA, PAP, Mycodot dan lain-lain, masih memerlukan penelitian lebih lanjut untuk pemakaian dalam klinik praktis.
8)  Respon terhadap pengobatan dengan OAT
Kalau dalam 2 bulan menggunakan OAT terdapat perbaikan klinis, akan menunjang atau memperkuat diagnosis TB. Bila dijumpai 3 atau lebih hal-hal yang mencurigakan atau gejala-gejala k1is umum tersebut diatas, maka anak tersebut harus dianggap TB dan diberikan pengobatan dengan OAT sambil di observasi selama 2 bulan. Bila menunjukkan perbaikan, maka diagnosis TB dapat dipastikan dan OAT diteruskan sampai penderita tersebut sembuh. Bila dalam observasi dengan pemberian OAT selama 2 bulan tersebut di atas, keadaan anak memburuk atau tetap, maka anak tersebut bukan TB atau mungkin TB tetapi kekebalan obat ganda atau multiple drug resistant (MDR).
9)  Pengobatan Tuberkulosia Paru
a.  Tujuan
1).    Menyembuhkan penderita
2).    Mencegah kematian
3).    Mencegah kekambuhan
4).    Menurunkan tingkat penularan.
b.  Jenis dan dosis OAT
1)  Isoniasid (H)
Dikenal dengan INH, bersifat bakterisid dapat membunuh 90% populasi kuman dalam beberapa hari pertama pengobatan. Obat ini sangat efektif terhadap kuman dalam keadaan metabolik aktif, yaitu kuman yang sedang berkembang. Dosis harian yang dianjurkan 5 mg/kg BB, sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu diberikan dengan dosis 10 mg/kg BB.
2)  Rifampisin (R)
Bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman semidormant(persister) yang tidak dapat dibunull oleh isoniasid. Dosis 10 mg/kg BB diberikan sama untuk pengobatan harian dan intermiten 3 kali seminggu.
3)  Pirasinamid (Z)
Bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman yang berada dalam sel dengan suasana asam. Dosis harian yang dianjurkan 25 mg/kg BB, sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu dengan dosis 35 mg/kg BB.
4)  Streptomisin (S)
Bersifat bakterisid, dosis harian yang dianjurkan 15 mg/kg BB sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu dengan dosis yang sama. Penderita berumur sampai 60 tahun dosisnya 0,75 gr/hari, sedangkan untuk berumur 60 tahun atau lebih diberikan 0,50 gr/hari.
5)  Etambutol (E)
Bersifat sebagai bakteri-ostatik. Dosis harian yang dianjurkan 15 mg/kg BB sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu digunakan dosis 30 mg/kg BB.
c.  Prinsip pengobatan
Obat TB diberikan dalam bentuk kombinasi dan beberapa jenis, dalam jumlah cukup dan dosis tepat selama 6 — 8 bulan, supaya semua kuman(termasuk kuman persister) dapat dibunuh.
Dosis tahap intensif dan dosis tahap lanjutan ditelan sebagai dosis tunggal, sebaliknya pada saat perut kosong. Apabila panduan obat yang digunakan tidak adekuat (jenis, dosis, dan jangka waktu pengobatan), kuman TB akan berkembang menjadi kuman kebal obat (resisten). Untuk menjamin kepatuhan penderita menelan obat, pengobatan perlu dilakukan dengan pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang pengawas menelan obat (PMO). Tugas PMO adalah mengawasi penderita TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai pengobatan, memberi dorongan pada penderita agar mau berobat teratur, mengingatkan penderita untuk segera menemui petugas kesehatan yang memberikan obat jika gejala efek samping atau kondisi penyakit bertambah parah atau ada kelainan lain, mengingatkan penderita tindakan untuk segera meneruskan meminum obat jika lupa meminum obat, mengingatkan penderita untuk menyimpan obat pada tempat yarg kering dan tidak terkena cahaya matahari serta jauh dari jangkauan anak—anak, mengingatkan penderita untuk periksa ulang dahak pada waktu yang telah ditentukan, memberikan penyuluhän pada anggota keluarga penderita TB yang mempunyai gejala-gejala. tersangka TB untuk segera memeriksakan diri ke unit pelayanan kesehatan Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap yaitu
1)  Tahap intensif
Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari dan diawasi langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan terhadap semua OAT, terutama rifampisin. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya penderita menular menjadi tidak menular dalam waktu 2 minggu. Sebagian besar pendenita TB BTA positif menjadi BTA negatif pada akhir pengobatan intensif
2)  Tahap lanjutan
Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama.
d.  Pengobatan TB pada keadaan khusus
1)  TB Mi1ier
a)  Rawat
b)  Paduan obat 2RHZE/4RH
c)  Pada keadaan khusus (sakit berat) bergantung pada keadaan klinik. Radiologik dan evaluasi pengobatan, maka pengobatan lanjutan dapat diperpanjang sampai dengan 7 bulan (2RHZE/7RH).
d)  Pemberian kortikosteroid tidak rutin hanya diberikan pada keadaan tanda/gejala meningitis sesak napas, tanda/gejala toksik demam tinggi.
e)  Kortikosteroid : prednison 30-40 mg/hari, dosis diturunkan 5-10 mg setiap 5-7 hari, lama pemberian 4-6 minggu.
2)  Pleuritis eksudativa TB (efusi pleura TB)
a)  Panduan obat 2RHZE/4RH
b)  Evakuasi cairan dan dikeluarkan seoptimal mungkin sesuai keadaan penderita
c)  Ulangi evakuasi cairan bila diperlukan dan berikan kortikosteroid.
d)  Dosis steroid : prednison 30—40 mg/hari, diturunkan 5—10 mg setiap 5-7 hari, pemberian selama 3—4 minggu.
e)  Hati-hati pemberian kortikosteroid pada TB dengan lesi luas, DM.
3)  TB diluar paru
a)  Panduan obat 2RHZE/10RH
b)  Prinsip pengobatan sama dengan TB paru. Pengobatan untuk TB di luar paru misalnya TB tulang, TB sendi, dan TB kelenjar. Meningitis pada bayi dan anak lama pengobatannya 12 bulan. Pada TB di luar paru lebih sering dilakukan tindakan bedah. Tindakan bedah dilakukan untuk
(1) Mendapatkan bahan/spesimen untuk pemeriksaan (diagnosis).
(2) Pengobatan
(3) Perikarditis kontriktiva
(4) Kompresi medulla spinalis pada penyakti Pott’s
Pemberian kortikosteroid diperuntukkan pada perikarditis TB untuk mencegah kontriksi jantung, dan pada meningitis TB untuk menurunkan gejala sisa neurologis.
4)  TB paru dengan diabetes melitus (DM).
a)  Panduan obat 2RHZ(E-S)/4RH dengan regulasi baik/gula darah terkontrol.
b)  Bila perlu fase lanjutan 7 bulan : 2RHZ(E- S)/7RH padu yang terkontrol.
c)   DM harus dikontrol
d)  Hati-hati dengan penggunaan etambutol, karena efek samping etambutol ke mata sedangkan penderita DM sering mengalami komplikasi kelainan pada mata.
e)  Perlu diperhatikan penggunaan rifampisin akan mengurangi efektivitas obat oral anti diabetes (sulfonil urea), sehingga dosisnya perlu ditingkatkan.
f)  Perlu kontrol/pengawasan sesudah pengobatan selesai untuk mengontrol/mendeteksi dini bila terjadi kekambuhan.
5)  TB paru dengan HIV/AIDS
Panduan obat yang diberikan adalah berdasarkan rekomendasi ATS, yaitu
a)   2RHZ(E-S) diberikan sampai 6-9 bulan setelah konversi sputum. Menurut WHO paduan obat dan lama pengobatan sama dengan TB tanpa HIV/AIDS.
b)   Jangan diberikan Thiacetazon karena dapat menimbulkan toksik pada kulit yang hebat.
c)   Obat suntik kalau bisa dihindari kecuali jika sterilisasinya terjamin.
d)   Jangan lakukan desentrisasi OAT pada penderita HIV/AIDS (iuisal INH, refampisis) karena mengakibatkan toksik yang serius pada hati.
e)   INH diberikan terus menerus seumur hidup.
f)   Bila terjadi MOR, pengobatan sesuai uji resistensi.
6)  TB paru pada kehamilan dan menyusui
a)  Tidak ada indikasi pengguguran pada penderita TB dengan kehamilan.
b)  OAT karena efek samping streptomisin pada gangguan pendengaran janin.
c)  Pada penderita TB dengan menyusui OAT, ASI tetap dapat diberikan walaupun beberapa OAT dapat masuk kedalam ASI. Akan tetapi konsentrasinya kecil dan tidak dapat menyebabkan toksik pada bayi.
d)  Wanita menyusui yang dapat pengobatan OAT dan bayinya juga mendapat pengobatan. Dianjurkan tidak menyusui bayinya, agar tidak mendapat dosis berlebihan.
e)  Pada wanita usia produktif yang mendapat pengobatan TB dengan refampisin, dianjurkan untuk tidak memakai kontrasepsi hormonal, karena adanya interaksi obat yang menyebabkan efektivitas obat kontrasepsi hormonal berkurang.
7)  TB paru dan gagal ginjal
a)  Jangan menggunakan OAT streptomisin, kenamisin, dan refampisin.
b)  Sebaiknya hindari penggunaan etambutol karena waktu parunya menunjang dan terjadi akumulasi etambutol. Dalam keadaan sangat diperlukan, etambutol dapat diberikan dengan pengawasan kreatinin.
c)  Sedapat mungkin dosis disesuaikan dengan gagal ginjal (CCT ureum, kreatinin).
d)  Rujuk ke ahli paru.
8)  TB paru dengan kelainan hati
a)  Bila ada kecurigaan gangguan fungsi hati, dianjurkan pemeriksaan faal hati sebelum pengobatan.
b)  Pada kelainan hati, pirazinamid tidak boleh digunakan.
c)  Panduan obat yang dianjurkan/ rekomendasi WHO 2SHRE/6RH
d)  2SHE/1OHE
e)  Pada penderita hepatitis akut dan atau klinis ikterik, pemberian OAT sebaiknya ditunda sampai hepatitis akutnya mengalami pen yembuhan.
f)  Sebaiknya dirujuk ke ahli paru.

D.  Konsep Alat Pelindung Diri (Masker)
Alat pelindung diri merupakan suatu alat yang digunakan seseorang dalam melakukan pekerjaannya, yang dimaksud untuk melindungi dirinya dari sumber bahaya tertentu baik yang berasal dari pekerjaan maupun dari lingkungan kerja (sugeng budiono,2003).
Alat pelindung pribadi merupakan alat yang digunakan untuk melindungi kulit dan selaput lendir petugas dari resiko paparan darah, semua jenis cairan tubuh, sekret, dan selaput lendir pasien. Pemakaian alat pelindung pribadi merupakan bagian penting dari pelaksanaan prosedur tindakan pencegahan universal di ruangan (Wahyono, 2004).
Alat Pelindung pernafasan adalah alat yang penting, mengingat 90% kasus keracunan sebagai akibat masuknya bahan-bahan kimia saluran pernafasan.
Macam-macam alat pelindung diri meliputi:
      1.    Sarung tangan, digunakan untuk melindungi tangan dari kontak dengan darah, semua jenis cairan tubuh, sekresi, ekskresi, kulit yang tidak utuh, selaput lendir pasien, dan benda yang terkontaminasi. Setelah digunakan, sarung tangan harus segera dilepaskan sebelum menyentuh benda-benda yang tidak terkontaminasi dan sebelum menyentuh pasien lainnya.
      2.    Pakaian kerja petugas, dapat berupa seragam kerja, jas operasi, dan celemek atau apron. Jenis bahan dapat berupa bahan tembus cairan dan bahan tidak tembus cairan. Tujuannya untuk melindungi petugas dari kemungkinan genangan atau percikan darah maupun cairan tubuh lain yang dapat mencemari baju seragam.
      3.    Masker dan kaca mata atau pelindung wajah (google), tujuannya melindungi membran mukosa mata, hidung dan mulut, selama melakukan tindakan perawatan pasien yang memungkinkan terjadi percikan darah atau cairan tubuh lain.
      4.    Sepatu tertutup, dipakai pada saat memasuki daerah ketat. Sepatu ini dapat berupa sepatu tertutup biasa sebatas mata kaki dan sepatu booth tertutup yang biasa dipakai pada operasi yang memungkinkan terjadinya genangan percikan darah atau cairan tubuh pasien, misalnya pada operasi sectiocaesarea atau laparatomy. Resiko yang terjadi bila tidak menggunakan alat pelindung pribadi yaitu terjadinya infeksi nosokomial pada petugas kamar bedah, terutama penyakit yang penularannya melalui kontak darah, semua cairan tubuh, secret, dan selaput lendir pasien, misalnya TBC, Hepatitis dan HIV (Wahyono, 2004; Susan, 2000).
Beberapa hal yang dapat menurunkan resiko penularan di tempat kerja, semua petugas kesehatan harus selalu waspada dan menghindari terjadinya kecelakaan kerja. Menurunkan resiko penularan di tempat kerja dapat dilakukan dengan (Wahyono, 2004):
              1.    Memahami dan selalu menerapkan tindakan pencegahan universal setiap saat kepada semua pasien, di semua tempat pelayanan kesehatan atau ruang perawatan, tanpa memandang status infeksi pasiennya.
              2.    Menghindari transfusi, suntikan, jahitan, dan tindakan invasive lain yang tidak perlu, seperti misalnya episiotomy dan tindakan operatif lain yang tidak jelas indikasinya.
              3.    Mengupayakan ketersediaan sarana agar dapat selalu menerapkan pengendalian infeksi secara standar, meskipun dalam keterbatasan sumber daya.
              4.    Menilai dan menekan resiko melalui pengawasan yang teratur di sarana pelayanan kesehatan.

E.   
E. Kerangka Konsep Hipotesis Penelitian
1.    Kerangka Konsep
Keluarga Pasien TB
 
      Kerangka konsep yang digunakan dengan menggunakan model sistem yang terdiri dan unsur variabel independen (variabel bebas) dan variabel dependen (variabel terikat) juga menggunakan literatur atau penelitian yang terkait dengan tujuan penelitian.

 










Keterangan
: Diteliti
: Tidak diteliti
Gambar 2.3
Kerangka konsep tentang hubungan karakteristik keluarga pasien tuberkulosis dengan kepatuhan menggunakan alat pelindung diri (masker).

 2. Hipotesis Penelitian
Hipotesis adalah jawaban sementara dari rumusan masalah atau pertanyaan penelitian (Nursalam, 2003). Hipotesis yang diajukan peneliti adalah:
Ho:
Tidak Ada hubungan antara karakteristik keluarga pasien tuberkulosis dengan kepatuhan    menggunakan alat pelindung diri (masker.  
Ha:
Ada hubungan antara karakteristik keluarga pasien tuberkulosis dengan kepatuhan    menggunakan alat pelindung diri (masker).  

 
BAB III
METODE PENELITIAN

Metode penelitian merupakan suatu metode atau cara untuk memecahkan masalah menurut teori keilmuan.
A.    Subyek dan Obyek Penelitian
1.  Subyek Penelitian
Penelitian ini berlokasi di RSUD Dr.R.Soedjono  Selong, dimana yang menjadi subyek penelitian adalah semua keluarga yang menunggu pasien TB paru yang sedang menjalani pengobatan di RSUD Dr.R.SOEDJONO Selong.
2.  Objek Penelitian
Yang menjadi objek penelitian ini adalah karakteristik dan kepatuhan menggunakan alat pelindung diri (masker).
B.    Populasi dan Sampel
1.  Populasi
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas: obyek/subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2010).
Populasi adalah keseluruhan obyek penelitian atau himpunan obyek yang diteliti yang memiliki ciri yang sama (Notoatmodjo, 2002)
Populasi dalam penelitian ini adalah semua keluarga yang menunggu pasien TB paru yang sedang menjalani pengobatan di RSUD Dr.R.Soedjono selong.
2.  Sampel
Sampel adalah himpunan bagian atau bagian dari sebagian populasi (Notoatmodjo, 2002). Sampel dalam penelitian ini adalah semua keluarga yang menunggu pasien TB Paru yang memenuhi kriteria sampel.
3.  Tehnik pengambilan Sampel(sampling)
Tehnik pengambilan sampel (sampling) adalah proses menyeleksi porsi dari populasi untuk dapat mewakili populasi (Nursalam, 2003).     
Tekhnik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah “insidental Sampling”, adalah tehnik penentuan sampel berdasarkan kebetulan, yaitu siapa saja yang secara kebetulan/insidental bertemu dengan peneliti dapat digunakan sebagai sampel, bila dipandang orang yang kebetulan ditemui itu cocok sebagai sumber data (Sugiyono, 2010)
4.  Kriteria Sampel
Kriteria sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut :
a.    Keluarga yang menunggu pasien TB paru yang sedang menjalani pengobatan.
b.    Keluarga yang menunggu pasien TB paru yang tidak mengalami gangguan  jiwa.
c.    Berumur 15-35 tahun.
d.    Bersedia menjadi responden.

C.    Desain Penelitian
Desain penelitian merupakan suatu strategi penelitian dalam mengidentifikasi permasalahan sebelum perencanaan akhir pengumpulan data (Nursalam, 2003).
Berdasarkan tujuan penelitian yang saya gunakan maka penelitian ini termasuk penelitian deskriptip dengan menggunakan pendekatan korelasi yang bersifat cross sectional, yaitu : “untuk mencari hubungan suatu keadaan dengan keadaan lain dalam suatu populasi pada waktu yang bersamaan. Dalam studi cross sectional variabel independen dan variabel dependen dinilai secara simultan  pada satu saat.  Dengan kata lain semua penelitian yang pengukurannya dilakukan hanya satu kali (Sastroasmoro, 1995).

D.    Tehnik Pengumpulan Data dan Pengolahan Data
1.  Instrumen penelitian
Instrumen adalah suatu alat yang akan digunakan untuk pengumpulan data (Notoatmodjo, 2005). Instrumen pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini berupa pedoman wawancara yang memuat beberapa pertanyaan yang mengacu pada kerangka konsep. Pertanyaan terdiri dari dua bagian. Bagian A memuat 5 (lima) pertanyaan mengenai data karakteristik keluarga, sedangkan bagian B memuat pedoman observasi penggunaan alat pelindung diri (masker).
2.  Pengumpulan Data
Dalam pengumpulan data, peneliti membuat    Informed Consent agar responden mengetahui maksud dan tujuan penelitian yang dilakukan oleh peneliti.
Responden pada penelitian ini adalah semua keluarga yang menunggu pasien tuberkulosis yang sedang menjalani pengobatan di RSUD Dr.R.SOEDJONO SELONG yang memenuhi kriteria sampel yang telah ditetapkan oleh peneliti. Responden yang memenuhi kriteria diberikan angket agar mengisinya dan peneliti berada di dekat responden agar bila ada pertanyaan dari responden, peneliti dapat segera menjelaskan. Responden diingatkan agar semua pertanyaan diisi dengan lengkap, bila telah selesai diisi, selanjutnya dikembalikan kepada peneliti.
Observasi dilakukan pada saat akan melakukan penggunaan alat pelindung diri (masker) dan keluarga diingatkan agar bekerja seperti biasanya dan hasil pengamatan tidak akan mempengaruhi kerja responden.




E.    Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional
1.  Identifikasi Variabel
Variabel adalah segala sesuatu yang berbentuk apa saja yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh informasi tentang hal tersebut, kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2010).
a.   Variabel Independen
Variabel independen (bebas) adalah merupakan variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahannya atau timbulnya variabel dependen (terikat) (Sugiyono, 2010).
Adapun variabel independen dalam penelitian ini adalah karakteristik keluarga pasien tuberkulosis.
b.  Variabel Dependen
Variabel Dependen (terikat) adalah merupakan variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat, karena adanya variabel bebas (Sugiyono, 2010).
Variabel dependen pada penelitian ini adalah kepatuhan menggunakan alat pelindung diri  (masker).
2.  Definisi operasional
Definisi operasional adalah mendefinisikan variabel secara operasional dan berdasarkan karakteristik yang diamati dalam melakukan pengukuran secara cermat terhadap suatu obyek atau fenomena dengan menggunakan parameter yang jelas (Azis, 2003). Definisi dari variabel—variabel dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel dibawah ini.


Tabel 3.1 Definisi Operasional Variabel
No.
Variabel
Definisi Operasional
Parameter
Alat Ukur
Skala
Score
1
Variabel Independen karakteristik keluarga
1.  Umur






2.   Jenis kelamin


3.  Pendidikan











4.   Status perkawinan


5.  Pekerjaan




Usia keluarga saat
Ini





Kategori keluarga berdasarkan alat reproduksi manusia

Pendidikan merupakan suatu proses cara berfikir atau tingkah laku dengan cara pengajaran, penyuluhan dan pelatihan melalui pendidikan formal.



Status keluarga terkait dengan hukum perkawinan

Pekerjaan keluarga itu sendiri



1.  Dewasa awal (20-35 tahun)
2.   Dewasa pertengahan (36-45 tahun)
3.  Dewasa akhir (>45 tahun)


1.  Laki-laki
2.  Perempuan


1.  SD
2.  SMP
3.  SMA
4.  PERGURUAN TINGGI








1.  Kawin
2.  Belum kawin


1.  Petani
2.  Wiraswasta
3.  PNS




Kuesioner






Kuesioner




Kuesioner











Kuesioner



Kuesioner





Ordinal






Nominal




Nominal 











Nominal



Ordinal





1.  Dws. Awal
2.  Dws. Ptg
3.  Dws.akhir




1.  Laki-laki
2.  Perempuan



1.  SD
2.  SMP
3.  SMA
4.  PT








1.  Kawin
2.  Belum kawin

1.  Petani
2.  Wiraswasta
3.  PNS

2
Variabel dependen
Kepatuhan
Menggunakan alat pelindung diri (masker)
kepatuhan yang dimaksud disini adalah ketaatan keluarga dalam penggunaan alat pelindung diri itu sendiri
Penilaian kepatuhan
menggunakan alat pelindung diri (masker )
Observasi
Nominal
1. Patuh apabila kegiatan dilaksanakan > 75%
2. Tidak patuh apabila kegiatan tidak dilaksanakan < 75%



F.    Analisa Data
Data tentang umur, jenis kelamin, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan dikumpulkan dari panduan wawancara dan disajikan dalam bentuk deskriptif.
Skoring terhadap data hasil wawancara variabel dependent tentang kepatuhan keluarga yang meliputi patuh dan tidak patuh diberi skor dengan nilai :
0 = tidak patuh
1 = patuh
Kemudian nilai tersebut dikelompokkan dalam kriteria sebagai berikut :
1. Patuh bila nilai yang dicapai lebih dari 75%
2. Tidak patuh bila nilai yang dicapai kurang dari 75%
Kemudian untuk mengetahui hubungan antara karakteristik keluarga pasien tuberkulosis dengan kepatuhan menggunaka alat pelindung diri (masker) di ruang interna RSUD Dr.R.SOEDJONO Selong, maka peneliti menggunakan chi-square dengan tingkat kemaknaan (α)5% dengan rumus sebagai berikut :
Keterangan:
K           : Banyaknya Kategori
     : Frekwensi Observasi Untuk Kategori Ke-i
     : Frekwensi ekspektasi untuk kategori ke-i



G.    Kerangka Kerja Penelitian
Text Box: Pasien TBC      Kerangka kerja penelitian adalah merupakan alur pemikiran yang membedakan arah dalam melakukan penelitian tentang bagaimana hubungan antara dua variabel penelitian. Adapun yang menjadi kerangka kerja pada penelitian ini dapat dilihat pada frame work berikut ini :








Text Box: Tabulasi Data


Text Box: Analisa data


Text Box: Penyajian Hasil




















Gambar 3.1
Kerangka kerja penelitian hubungan karakteristik  keluarga pasien tuberkulosis dengan kepatuhan menggunakan alat pelindung diri (masker) di ruang interna  RSUD Dr. R. SOEDJONO Selong


No comments:

Post a Comment